Permohonan lima bupati di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), dan satu orang wiraswasta terkait dengan pengujian Pasal 1 angka 3 Undang-undang (UU) Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945, dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Achmad Sodiki selaku pimpinan sidang, saat membacakan putusan nomor 45/PUU-IX/2011, Selasa (21/2), di Ruang Sidang Pleno MK.
Keenam Pemohon itu adalah Bupati Kapuas H Muhammad Mawardi, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, Bupati Katingan Duwel Rawing, Bupati Barito Timur H Zain Alkim, Bupati Sukamara H Ahmad Dirman, dan Ahmad Taufik selaku wiraswasta dari Palangkaraya.
Dalam dalil para Pemohon mengatakan bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan. “Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.”
Kemudian, Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menyatakan, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Menurut para Pemohon, frasa “ditunjuk dan atau” bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan pengertian antara ketentuan Pasal 1 angka 3 terdapat perbedaan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU tersebut. Pasal 15 ayat (1) UU tersebut berbunyi, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan”.
Dalam hal ini, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU tersebut penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Sementara itu “penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.
Dari peristiwa dan aturan yang ada, Mahkamah berpendapat bahwa tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan di atas sejalan dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara Ayat (2) dari Pasal 15 UU Kehutanan berbunyi, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.” Menurut Mahkamah, Pasal tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut. “Sehingga jika terjadi keadaan seperti itu, maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain,” tulis Mahkamah.
Oleh karena itu, Mahkamah menimbang bahwa karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, selain bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, hal demikian juga tidak sinkron dengan Pasal 15 UU tersebut.
Ketidaksinkronan tersebut, lanjut Mahkamah, menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Kemudian mengenai ketentuan peralihan dari UU Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini”, kata Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU tersebut mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 UU tersebut tetap sah dan mengikat.
Oleh sebab itu, Mahkamah dalam putusannya, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Sementara dalam Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi UU (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412), bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Shohibul Umam/mh)