Korps Wanita Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL),selama tiga hari, dari hari Jumat-Minggu (17-19/2), mengikuti dengan seksama dan“belajar” tentang “Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK),” di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Acara yang terselenggara atas kerjasama Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK dengan TNI AL tersebut, dihadiri oleh sekitar 200 peserta Korps Wanita TNI AL dari berbagai daerah di Indonesia.
Selama itu, para peserta menerima materi dari sejumlah narasumber, di antaranya, sesi pertama disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki. Dia menyampaikan tentang “Mahkamah Konstitusi, Penegakkan Hukum Progresif, dan keadilan Substantif.” Menurutnya, konsep hukum progresif meniscayakan hukum tersebut berkembang dan mengalir seperti air, dan diharuskan hukum itu sendiri diapresiasikan terhadap nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, yang di dalamnya terkandung keadilan substantif, serta bisa diinteregrasikan dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sesi selanjutnya yakni pada sesi ke-2 mengangkat tema, “Negara Hukum Pancasila, dan Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara,” yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono. Dalam paparannya, ia mengatakan bahwa Pancasila sebagai way of life atau jalan hidup bangsa Indonesia. “Oleh karena itu, jangan ragu-ragu dalam menjalankan Pancasila sebagai dasar negara,” pesan Harjono kepada peserta.
Materi “Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945” melengkapi pada sesi berikutnya. Tema ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa manakalah permohonan terkait dengan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD 1945 terbukti dan beralasan, maka MK dalam putusannya menyatakan bahwa norma tersebut tidak mempunyai hukum yang mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam acara ini juga menyampaikan materinya. Kali ini, dia menyampaikan materi tentang, “Mahkamah Konstitusi dan Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.” Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa apapun yang diatur dalam Peraturan MK harus terus dievaluasi, terutama apabila MK harus kembali ke “khittahnya” sebagai pengawal konstitusi, tatkala berbagai pelanggaran pemilu sudah menggoyahkan prinsip-prinsip pemilu yang “luber dan jurdil”.
Kemudian dalam sesi ke-5 diisi oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Dia menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi, dan Kewenangan Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan Memutus Pembubaran Partai Politik.” Alim menuturkan bahwa baik pemohon ataupun termohon apabila sedang bersengketa terkait perkara SKLN (Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, red), sebelum menjatuhkan putusan, MK dapat mengeluarkan penetapan yang isinya memerintahkan kepada pemohon dan termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang disengketakan.
Selain itu, tema “Perubahan UUD 1945 dan Sistem Ketatanegaraan RI Pasca Perubahan UUD 1945,”juga disampaikan dalam rangkaian acara ini. Kali ini yang menyampaikan adalah Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Dalam hal ini, Hamdan mengatakan bahwa perubahan UUD 1945 semakin mempertegas munculnya beberapa paradigma baru dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, di antaranya adalah prinsip demokrasi konstitusional, supremasi konstitusi, dan sistem check and balances.
Pada hari terkhir, materi “Kewenangan Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment),” disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Dalam keterangannya, ia menjelaskan bahwa pengajuan permintaan DPR kepada MK terkait dengan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam persidangan paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kuranngnya 2/3 dari jumlah anggota di DPR.
Materi terakhir yang bertema “Mahkamah Konstitusi, dan Manajemen Peradilan Unggul,” disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar. Dalam hal ini, Janedjri menjelaskan bahwa mengapa lembaga peradilan MK hadir dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia? Menurutnya, negara Indonesia merupakan negara demokrasi konstitusional. Artinya negara berlandaskan hukum dan demokrasi. Namun, demokrasi ada kekurangannya, yakni siapa yang mempunyai banyak suara, dialah yang harus diikuti.
“Oleh karena itu, demokrasi harus diimbangi dengan kedaulatan hukum (nomokrasi) yang menghasilkan pemerintahan berlandaskan norma, nilai, dan hukum. Dengan demikian, nomokrasi diwujudkan dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi,” tutur Janedjri. (Shohibul Umam/mh)