Kewenangan penyidikan, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi, di tangan kejaksaan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Sebab, kewenangan kejaksaan dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dinegasikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Demikian hal itu dinyatakan oleh M. Zainal Arifin, Pemohon dalam perkara nomor 16/PUU-X/2012, dalam sidang pendahuluan Jum’at (17/2) di ruang sidang MK. Selain Zainal, terdapat dua Pemohon lainnya, yakni Iwan Budi Santoso dan Ardion Sitompul. Sehari-harinya mereka berprofesi sebagai advokat. Dalam hal ini, para Pemohon menguji Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 39 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, serta Pasal 44 ayat (4), (5), Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UU No. 30/2002 tentang KPK.
Menurut Zainal, dalam konteks tersebut, berlaku asas lex posteriori derogate legi priori. “Undang-undang baru mengalahkan undang-undang lama,” tegasnya. Oleh sebab itu, menurutnya, UU 31/1999 tidak berlaku mengikat lagi setelah ada UU 30/2002. “Maka kejaksaan tidak memiliki kewenangan melakukan penyidikan pada tindak pidana korupsi,” ujarnya. Zainal pun kemudian meminta agar frase “atau kejaksaan” dalam Pasal 44 ayat (4), (5), Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UU No. 30/2002 dinyatakan tidak mengikat lagi oleh Mahkamah. “Sejak ada UU KPK, maka koordinasi pengadilan tindak pidana korupsi hanya ada pada KPK,” imbuhnya.
Salah satu pasal tersebut, yaitu Pasal 44 ayat (4) UU UU No. 30/2002 berbunyi, “dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.” Dia juga menilai, dalam hal ini pembentuk UU telah bertindak kurang teliti. “Karena, paradigmanya kejaksaan itu masih memiliki kewenangan,” katanya. “Padahal UU 30/2002 itu mereduksi kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan.”
Selain itu, ketentuan-ketentuan tersebut, menurutnya, juga bertentangan dengan prinsip negara hukum. Karena rumusannya tidak jelas dan tidak tegas. “Akan berpotensi melanggar hak asasi manusia,” ujar Zainal. Menurutnya, perlu ada diferensiasi yang jelas antara kewenangan antara kepolisian dengan kejaksaan. Yakni, penyidikan di tangan kepolisian, sedangkan penuntutan ada pada kejaksaan. “Itu harus tegas sebagai perwujudan dari check and balances,” paparnya.
Jika pengaturan tentang kewenangan penyidikan masih seperti yang ada sekarang, maka akan terjadi penyimpangan yang akan mengkhianati semangat penegakan hukum itu sendiri. “Akan menjadi monster penegakan hukum,” jelasnya. “Kami berharap proses penegakan hukum kembali kepada ruhnya.” Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan Pemohon, Majelis Panel Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki pun memberikan beberapa saran dan masukan untuk perbaikan permohonan. (Dodi)