Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU kementerian Negara) menunjukkan adanya kekuasaan diskresi presiden dalam menunjuk wakil menteri. Hal ini disampaikan oleh Mantan Hakim Konstitusi periode pertama Laica Marzuki ketika memberikan keterangan Pemerintah dalam sidang pengujian UU Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (16/2). Sidang perkara dengan Nomor 79/PUU-IX/2011 dimohonkan oleh Adi Warman.
“Pasal 10 menyatakan, ‘Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu’. Hal itu menunjukkan kekuasaan diskresi presiden untuk menunjuk wakil menteri,” ujar Laica di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Menurut Laica, permasalahan yang dimohonkan Pemohon tidak berkaitan dengan konstitusionalitas Pasal 10 UU Kementerian negara. “Jabatan wakil menteri memiliki legalitas, bersifat legitimasi, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” urainya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UNDIP Arief Hidayat selaku Ahli Pemerintah lainnya, mengungkapkan dalam menjalankan roda pemerintahan, presiden mempunyai hak prerogatif untuk membentuk suatu jabatan baru. “Ada ataupun tidak adanya wakil menteri dalam sebuah kementerian merupakan hak prerogratif presiden. Masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban presiden di akhir masa jabatan,” jelasnya.
Menurut Arief, rakyat selalu membebankan keberhasilan terhadap pemerintahan, namun yang rakyat hanya melihat yang menjalankan roda pemerintahan hanyalah presiden. “Untuk membentuk pemerintahan yang berdaya guna serta hasil guna, presiden yang menjalankan roda pemerintahan berhak untuk membentuk jabatan baru termasuk di dalamnya adalah wakil menteri,” paparnya.
Prijono Tjipto Herijanto selaku Ahli Pemerintah lainnya memaparkan Pasal 1 angka 6 UU No. 43/1999 tentang Kepegawaian (UU Kepegawaian) sudah jelas mendefinisikan pejabat karier. Pasal 1 angka 6 UU Kepegawaian menyatakan “Jabatan Karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat yang ditentukan”. “Berdasarkan pasal tersebut, maka presiden berhak mengangkat wakil menteri yang berasal baik dari pejabat eselon maupun pejabat fungsional seperti guru besar. Dan hal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945,” terangnya.
Kemudian, Prijono juga mengungkapkan perubahan persyaratan wakil menteri seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, khususnya Pasal 70 ayat (3). Disebutkan dalam Pasal 70 ayat (3) tersebut : “Pejabat karir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon I.a”. “Aturan tersebut sudah dihapus dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 76 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Hal ini sudah sesuai dengan UU no. 43/199 tentang Kepegawaian,” paparnya.
Menanggapi keterangan seluruh Ahli Pemerintah, Mahfud MD mempertanyakan mengenai adanya ‘hadiah politik’ presiden dengan memberikan jabatan kepada orang-orang yang telah ‘mendukungnya’. “Dalam situasi politik sekarang, jabatan menjadi alat politik. Ada 20 wakil menteri yang terpilih tanpa analisis jabatan sehingga mengakibatkan adanya tumpang tindih. Dalam hukum administrasi negara, menteri seharusnya sudah membagi habis tugas kepada sekjen ke bawah,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa jabatan wakil menteri dapat diindikasikan sebagai politisasi pegawai negara sipil dengan modus operandi membagi-bagi jabatan wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan presiden sebagai kroni-kroni presiden. “Selain itu, pengangkatan jabatan wakil menteri hanyalah akan menaikkan anggaran untuk kantor kementerian,” tandas M. Arifsyah Matondang selaku kuasa hukum Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)