Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah menyadari bahwa adanya ketimpangan perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah. Dikarenakan permasalahan daerah yang begitu penting dan begitu besar, tetapi tidak diimbangi dengan pendanaan yang diberikan kepada daerah yang bersangkutan.
Demikian disampaikan oleh Anggota DPD Aida Ismeth Nasution mewakili DPD, dalam Sidang Pengujian Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, perkara No.71/PUU-IX/2011, di Mahkamah Konstitusi, Rabu (15/2). “Hal ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip money follow function, yakni pendanaan harus mengikuti fungsi pemerintah yang menjadi tanggung jawab masing-masing,” urai Aida.
Selanjutnya, Aida juga menuturkan bahwa pembagian keuangan diharapkan bisa lebih proporsional, demokratis, transparan, dan tanggung jawab terhadap pendanaan proses penyelenggaraan sistem disentralisasi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi kebutuhan pemerintahan daerah. “Oleh karena itu, DPD mengharapkan dalam perkara ini, para pihak harus membacanya dalam konteks yang lebih luas terkait dengan hubungan pemerintahan pusat dan daerah,” pinta Aida.
Selain itu, Aida juga menyinggung kesaksian dari sejumlah pemimpin daerah yang dihadirkan oleh Pemerintah. Menurutnya, persoalan-persoalan yang sudah disampaikan terkait dengan penataan bagi hasil Migas (Minyak dan Gas), sesunggunya belum tampak memperhatikan proses dan artikulasi dalam persoalan tersebut. “Hal demikian yang sesunggunya kurang tepat apabila hal tersebut dikatakan sebagai akibat dana bagi hasil Migas saja,” jelasnya.
Oleh karena dalam kebijakan fiskal, Aida mengatakan bahwa Pemrintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya lebih bijaksana dalam menentukan formula yang lebih proporsional dan berimbang. “DPD tidak ingin ada terjadi penumpukan sumber-sumber penerimaan negara, termasuk pengelolahan Sumber Daya Alam, khususnya Migas yang tersentralisasi. Sehingga terkesan pemerintahan daerah sangat tergantung terhadap dana transfer pemerintahan pusat,” tutur Anggota DPD tersebut.
Dalam kesempatan sama, Pemerintah juga melanjutkan Ahli yang sempat tertunda. Mereka adalah Ibnu Tri cahyo dan Eddy Suratman. Dalam keterangannya, Ibnu mengatakan bahwa untuk mendapatkan hubungan yang adil dan selaras dalam permohonan Pemohon, tidak cukup melihat dalam UU No. 33 tahun 2004 saja, akan tetapi harus melihat keseluruhan sistem yang ada dalam UU, di antaranya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU APBN.
“Semua itu, menggambarkan seluruh aliran dan distribusi anggaran. Kalau tidak? akan memunculkan ego kedaerahan. Sedangkan adil dan selaras, merupakan sebuah sistem. Dan apa jadinya kalau daerah yang mempunyai potensi masing-masing menuntut bagian lebih besar dari daerah lain,” urai Ahli Pemerintah itu.
Sementara Eddy berpesan kepada para Pihak, seandainya permohonan ini dikabulkan, maka akan ada sekitar 7.8 % rata-rata DAU (Dana Alokasi Umum) di seluruh daerah akan turun. “Artinya kalau satu Provinsi mendapatkan 1 triliun, maka akan ada pengurangan dana 80 milyar, dari dana daerah yang bersangkutan,” jelasnya.
Sebelumnya, para Pemohon yang terdiri atas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu, Sundy Ingan, Andu, Luther Kombong, H. Awang Ferdian Hidayat, Muslihuddin Abdurrasyid, dan H. Bambang Susilo mendalilkan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah inkonstitusional, terutama Pasal 14 huruf e yang berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 15,5% untuk Daerah".
Sedangkan, Pasal 14 huruf f berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 30,5% untuk Daerah.”Dalam Pasal tersebut, ”frasa 84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah dan frasa 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (3), dan (4), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 33, Undang-Undang Dasar 1945. (Shohibul Umam/mh)