Penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di seluruh Indonesia sudah seperti laboratorium demokrasi. Nilai, prinsip, dan teori tentang demokrasi diimplementasikan pada setiap sendinya. Di sana setidaknya ada regulasi, institusi terkait, kontestan, dan rakyat, yang membaur membentuk sebuah fakta yang dapat dianalisis secara ilmiah. Oleh sebab itu pula, mungkin, kajian ilmiah atas pelaksanaan ‘pesta demokrasi’ ini menjadi tema yang menarik untuk dikaji. Salah satunya oleh para peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
“Kami sedang menyiapkan riset evaluasi Pemilukada,” ujar Muridan Widjojo, salah satu peneliti LIPI yang tergabung dalam Tim Evaluasi Pemilukada LIPI, mengungkapkan tujuan rombongannya beraudiensi ke Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD pada Rabu (15/2) siang. Pada kesempatan itu, Mahfud didampingi Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar.
Menurut Muridan, MK sebagai lembaga peradilan yang mengadili sengketa Pemilukada selama ini tentu memiliki banyak Informasi dan dokumen yang bisa dijadikan bahan kajian dalam melakukan penelitian. “Di MK tentu saja ada kesaksian-kesaksian atau cerita-cerita detil yang kami butuhkan. Apalagi kesaksian tersebut di bawah sumpah, sehingga sebagian besar disampaikan secara jujur,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, beberapa waktu yang lalu MK baru saja menyelenggarakan Seminar Nasional Evaluasi Pemilukada. Hal ini tentu saja akan memudahkan pihaknya dalam mengumpulkan bahan-bahan untuk riset yang tengah dilakukan.
Mahfud pun menyambut baik niat itu. Menurutnya, kajian ilmiah juga penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan sistem Pemilukada ke depan. “Bahan-bahannya akan kami serahkan. Silahkan dibaca dengan komprehensif,” tuturnya.
Secara sederhana, ujar Mahfud, tampak dalam persidangan di MK selama ini bahwa pelanggaran-pelanggaran Pemilukada itu selalu berkembang. Pada mulanya, dilakukan oleh kontestan saja, kemudian berkembang ke penyelenggara Pemilukada, yakni Komisi Pemilihan Umum di daerah atau bahkan sampai ke Panitia Pengawas Pemilukada. “Lama-lama kecurangan itu bergeser kepada penyelenggara Pemilukada,” paparnya. “Selalu saja ada akal untuk curang.”
Namun MK tak mau menyerah. Menurut Mahfud, dalam beberapa perkara, MK melakukan sejumlah terobosan hukum untuk mengimbangi semakin mutakhirnya kecurangan dan pelanggaran tersebut. Salah satunya dengan memberikan legal standing kepada bakal calon yang telah secara resmi terdaftar di KPU.
Di samping itu, sambung Mahfud, secara internal MK juga selalu berupaya memberikan putusan yang adil berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan dan menjaga independensinya. “Sidang di MK terbuka,” tegasnya. Bahkan, seluruh sidang di MK direkam kemudian seluruh percakapan yang terjadi selama sidang ditranskrip ke dalam sebuah risalah sidang. Selanjutnya, risalah tersebut akan dimuat dalam laman resmi MK dan dapat diakses oleh publik.
Begitu pula dalam memutus. Menurut Mahfud, para hakim MK sangat menjaga independensinya dalam memberikan putusan. Dalam menangani perkara perselisihan hasil Pemilukada, misalnya, hakim MK akan mempertimbangkan fakta dan membahasnya secara serius dalam rapat permusyawaratan hakim. “Fakta dipersidangan itu dibedah di satu meja oleh seluruh hakim,” tegasnya. Oleh karena itu, akan sangat sulit jika salah seorang hakim MK ingin “bermain” dalam menangani perkara PHPU kada. “kami meyakini di sini (baca: MK) tidak masuk angin,” ucapnya.
Kalaupun ada temuan yang mengindikasikan bahwa pihak MK melakukan penyimpangan, maka dirinya pun terbuka akan hal itu. Bahkan, menurut dia, silahkan saja jika ada pihak yang ingin langsung melaporkannya ke pihak berwajib, termasuk KPK. “Silahkan saja lapor ke KPK jika ada fakta-faktanya. Jangan segan-segan,” tegasnya. “Keterbukaan penting untuk kontrol.”
Masih Di Tangan Rakyat
Menanggapi komentar miring tentang penanganan perselisihan hasil Pemilukada di MK, yang menyatakan bahwa kini yang menentukan kepala daerah bukanlah rakyat melainkan MK, Mahfud menjawabnya melalui statistik penanganan perkara di MK. Mahfud mengakui, selama ini memang hampir sebagian besar Pemilukada di seluruh daerah bermuara ke MK. Namun faktanya, dari 392 perkara Pemilukada yang ditangani MK, kata dia, ‘hanya’ sekitar 11 persen saja yang dikabulkan oleh MK.
Dengan kata lain, hanya sedikit Pemilukada yang berubah hasilnya akibat putusan MK. Itu pun sudah termasuk hasil yang kembali memenangkan pemenang sebelumnya, padahal sudah dilakukan pendaftaran, penghitungan, dan/atau pemungutan ulang melalui putusan MK. “Dari situ dapat dibantah bahwa keputusan itu tetap pada rakyat,” imbuhnya. Kesimpulan lainnya, kata Mahfud, “sebagian besar orang (calon) itu tidak mau kalah”.
Dikabulkannya sebuah permohonan pun, kata Mahfud, didasari oleh pertimbangan yang mendalam. Banyak faktor yang membuat MK mengabulkan sebuah permohonan. Parameter yang digunakan MK selama ini adalah, apakah pelanggaran atau kecurangan tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif serta signifikansi pelanggaran yang terjadi terhadap hasil Pemilukada.
Mahfud juga sempat ditanya bagaimana komentarnya tentang pengalihan kewenangan memilih gubernur ke tangan DPRD dan pemindahan kewenangan mengadili Pemilukada ke lembaga peradilan khusus pemilukada. Menurutnya, dalam posisinya sebagai Ketua MK, dia tidak akan menanggapi pertanyaan tersebut, karena bisa saja UU tersebut akan diujikan ke MK setelah diberlakukan. Tapi yang pasti, katanya, selama ini MK masih sanggup melaksanakan amanah tersebut dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. (Dodi/mh)