Mahasiswa Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah IAIN Intan Lampung mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/2). Kunjungan mahasiswa tersebut disambut oleh Staf Ketua MK yang sekaligus Peneliti MK, Abdul Ghoffar. Bertempat di Ruang Konferensi Pers Lantai 4 Gedung MK, Ghoffar sekaligus memaparkan materi asal mula judicial review sampai kewenangan MK.
Ghoffar memulai paparannya dengan menerangkan latar belakang sejarah terjadinya judicial review. Tahun 1803 di Amerika Serikat muncul kasus Marbury vs Madison. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam UUD AS saat itu, Supreme Court (Mahkamah Agung) AS membuat sebuah putusan yang ditulis salah satu Hakim Agung AS kala itu, John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Sejarah judicial review kemudian bergulir ke tahun 1920. Pada tahun itu, seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria, Hans Kelsen yang terinspirasi dengan kasus Marbury vs Madison menyatakan agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Gagasan Hans Kelsen itu kemudian menjadi dasar dibentuknya MK Austria yang menjadi MK pertama di dunia. Sedangkan MK Indonesia merupakan MK ke-78,” tutur Ghoffar.
Paparan Ghoffar berlanjut ke sejarah pembentukan MK di Indonesia. Sejatinya, lanjut Ghoffar, gagasan constitutional review di Indonesia sudah dicetuskan Moh. Yamin dalam rapat BPUPK. Saat itu, Yamin mengusulkan dibentuk Dewan Agung (MA, red) yang kewenangannya dapat menguji UU. Namun, gagasan Yamin tersebut dianggap “tidak masuk akal” pada zamannya. Pasalnya, Indonesia dianggap belum memiliki banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman mengenai judicial review.
Pada tahun 2001, ketika UUD 1945 mengalami perubahan ketiga, Panitia Ad Hoc kala itu sempat menanyakan ketua MA saat itu tentang kesiapannya diberi kewenangan judicial review. “Waktu itu Ketua MK menyatakan tidak siap. Meski tidak menolak secara langsung, Ketua MA saat itu mengatakan MA sudah menangai perkara yang begitu banyak” jelas Ghoffar.
Akhirnya setelah amandemen UUD 1945 ketiga, melalui Pasal 24 dan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh MA tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Sementara MK belum terbentuk, MPR menetapkan MA yang menjalankan fungsi judicial review tersebut. Untuk mempersiapkan pengaturan secara rinci mengenai MK, DPR dan pemerintah kemudian membahas rancangan Undang-Undang tentang MK, Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan pemerintah akhirnya menyetujui pembentukan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003.
Dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden RI melalu Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003 mengangkat sembilan hakim konstitusi periode pertama.
Ghoffar melanjutkan, dari seluruh MK yang ada di dunia, termasuk MK Indonesia, ditemukan satu kesamaan, yaitu adanya kewenangan judicial review. Sedangkan kewenangan lain yang ada di MK Indonesia, yaitu memutus perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK juga memiliki satu kewajiban, yaitu wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berat seperti korupsi. (Yusti Nurul Agustin/mh)