Dalam membangun sistem penyiaran yang demokratis, tidak hanya menjamin kebebasan berbicara, berpendapat, dan kemerdekaan pers, tetapi harus juga menjamin adanya keanekaragaman kepemilikan dan isi (diversity of ownership and of content). Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat Amir Effendi Siregar dalam sidang lanjutan pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Rabu (15/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 78/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dan Yayasan Dua Puluh Delapan.
“Undang-Undang Penyiaran mengarahkan dan membangun sistem penyiaran nasional dengan mengandalkan dua pilar dasar, yaitu Stasiun Televisi Berjaringan dan Stasiun Televisi,” ucap Amir dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Saat ini, secara resmi, jelas Amir, menurut undang-undang, seharusnya tidak ada yang disebut sebagai stasiun televisi nasional. Menurut Amir, bila sebuah televisi nasional ingin mempunyai jangkauan yang luas, ia harus menjadi stasiun televisi jaringan. Pembentukan stasiun televisi berjaringan belum terjadi secara baik di Indonesia, hanya formalitas belaka karena ada keengganan dari para pemilik stasiun televisi untuk menjadi stasiun televisi berjaringan secara benar. “Artinya mereka belum melibatkan pemodal lokal dan isi lokal secara memadai karena dianggap tidak efisien secara ekonomis,” ujarnya.
Dalam kesimpulannya, Amir menjelaskan dalam kehidupan dan sistem komunikasi massa, khususnya media elektronik di Indonesia telah terjadi perpindahan dominasi negara dan Pemerintah ke dalam dominasi segelintir pemodal dan pemilik stasiun televisi yang belum bekerja sama dan tidak memberdayakan masyarakat lokal. “Industri penyiaran khususnya televisi kini berjalan berdasarkan ideologi neo-liberal yang memberikan pasar kebebasan yang sangat luas, padahal industri ini sebenarnya mempergunakan milik publik yang juga seharusnya menjadi milik masyarakat lokal. Ini dimungkinkan terjadi, karena kekuatan kapital dari segelintir orang melakukan berbagai macam cara, antar lain lewat peluang adanya multitafsir dan penafisran yang keliru terhadap undang-undang Penyiaran yang bertentangan dengan UUD 1945,” urainya.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Ahli dan Saksi baik dari Pemohon maupun Pemerintah, hadir sebagai Pihak Terkait, yakni Masyarakat Peduli Media dan Asosiasi Televisi Komunitas untuk memberi keterangan dalam persidangan ini. Lukas Ispandiano menjelaskan, televisi swasta nasional hanya terbatas untuk kalangan elite dan terbatas hanya untuk Jakarta. Sementara porsi tampil untuk daerah, lanjut Lukas, terbilang kecil. “Porsi untuk daerah menjadi besar ketika menjelang Pemilukada. Berita hanya didominasi seputar istana, gedung bundar, senayan. Pada akhirnya membuat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kehidupannya, khususnya yang di daerah. Untuk itu diharapkan, MK mendukung keberagaman kepemilikan,” terang Lukas selaku Ketua Umum Masyarakat Peduli Media.
Sementara ahli Pemerintah, Bambang Subyantoro menyatakan permohonan Pemohon harus ditolak oleh Majelis Hakim Konstitusi. Menurut Bambang, permohonan Pemohon kontraproduktif dengan usaha Pemerintah untuk mengembangkan industri penyiaran nasional. “Pemerintah saat ini sedang memproses izin televisi analog. Tercatat 800 Pemohon untuk izin televisi analog, dan sampai sejauh ini, Pemerintah sudah menyetujui sebanyak 400 permohonan. Hal ini menunjukkan tidak memungkinkan adanya monopoli dalam industri penyiaran nasional,” tukas Bambang.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Hendrayana, meminta pengujian Pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4)UU No.32/2002 tentang Penyiaran terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Selain itu, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menghilangkan asas, tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran yang secara prinsip bertentangan Pasal 28F UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)