Masalah krusial yang ada pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan Publik) adalah adanya kata ‘manipulasi’ sehingga membuka peluang lebar-lebar timbulnya multitafsir. Hal ini disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dalam sidang lanjutan perkara dengan Nomor 84/PUU-IX/2011 yang digelar pada Selasa (14/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon dalam perkara ini, yakni M. Achsin, Anton Silalahi, Yanuar Maulana, Rahmat Zuhdi dan M. Zainudin selaku Akuntan Publik.
“Frasa ‘…melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi…’ secara hukum adalah frasa yang tidak jelas maknanya. Dalam bahasa sehari-hari, kata ‘manipulasi’ mengandung arti negatif, yakni memutarbalikan atau menggambarkan sesuatu yang berbeda dari fakta atau keadaan yang sebenarnya, padahal dalam istilah akuntansi, manipulasi bukanlah sesuatu yang bersifat negatif. Istilah data manipulating berkaitan erat dengan profesi akuntan dalam menganalisis dan melakukan penilaian terhadap data yang hasilnya mungkin berbeda dengan data yang dihasilkan oleh manajemen, mengenai laporan keuangan yang dibuatnya,” papar Yusril di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Yusril menjelaskan karena ‘manipulasi’ dalam konteks akuntasi, berkaitan dengan analisis dan penilaian, maka tindakan manipulasi bukanlah termasuk tindakan pidana yang harus diberikan sanksi pidana pula. Dalam UU No. 5/2011, terang Yusril, tidak memberi penjelasan tentang arti kata ‘manipulasi’. Demikian pula dalam pasal 1 UU tersebut juga tidak merumuskan mengenai istilah ‘manipulasi’. “Oleh karena istilah ini belum dikenal dalam hukum pidana kita, kecuali istilah memalsukan KUHP, maka seharusnya istilah ‘manipulasi’ diberi penjelasan otentik oleh UU untuk mencegah multitafsir yang berakibat hilangnya kepastian hukum. Karena sifatnya yang multitafsir itu, maka aparat penegak hukum akan menafsirkan sendiri istilah itu yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya sendiri. Hal ini bertentangan dengan asas negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” paparnya.
Penggunaan kata ‘manipulasi’ menimbulkan kekhawatiran dan perasaan takut pada para akuntan public untuk melakukan sesuatu sesuai dengan profesinya, padahal setiap orang berhak atas rasa aman dan bebas dari ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu seperti yang diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD1945. “Kalau akuntan publik merasa takut melakukan manipulasi (data manipulating) yang menjadi saran kerja mereka dan merasa terancam karena suatu norma, maka jelaslah norma UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” urainya.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Ahli Pemohon dan Pemerintah, Pemohon mengajukan tiga orang Ahli lainnya, yakni Mudzakir, Himawan S. Tubagyo dan Rudolf H yang menyatakan Pasal 55 dan Pasal 56 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah menimbulkan diskriminasi terhadap profesi akuntan publik. Sementara Pemerintah menghadirkan ahli, salah satunya adalah Eddy O.S Hieraij. Eddy menjelaskan dari 200 juta rakyat Indonesia, mungkin hanya akuntan publik saja yang mengatakan bahwa kata ’manipulasi’ tidak mengandung arti negatif. “Tapi apakah itu artinya multitafsir? Saya tegaskan tidak. Yang dimaksudkan oleh DPR, arti kata ‘manipulasi’ tentu saja yang mengandung arti negatif dan tidak menimbulkan ambigu. Tidak menimbulkan multitafsir dan tidak bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) terkait dengan jaminan rasa aman,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal 55 huruf a UU tersebut yang memuat frasa “manipulasi” sulit dipahami karena perbuatan manipulasi tidak dikenal dalam rumusan dasar KUHP sebagai ketentuan pokok dalam hukum pidana. Rumusan yang diatur dalam KUHP adalah pemalsuan surat. Selain itu, Pasal 55 huruf b UU Akuntan Publik bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena Pasal tersebut telah menciptakan rasa tidak aman atau ketakutan yang amat sangat sehingga Para Pemohon merasa tidak bebas menjalankan profesinya untuk berbuat atau tidak berbuat. (Lulu Anjarsari/mh)