Salah satu universitas dari ujung Pulau Jawa berkunjung ke Mahkamah Konstitusi, Senin (13/2) pagi. Rombongan tersebut adalah dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Jawa Timur, yang berjumlah sekitar 100 mahasiswa dan didampingi oleh para dosen pembimbing beserta Dekan Fakultas Hukum-nya, Adi Winarto. Rombongan tersebut diterima langsung oleh Kepala Bagian Persidangan MK Muhidin, di Aula Dasar Gedung MK, Jakarta.
Dalam awal kesempatan memberikan alasan kedatangannya, Adi mewakili mahasiswa menyampaikan keinginanya untuk mengetahui dan mempelajari lebih dekat lagi kewenangan dan kewajiban MK yang dinilai cukup sentral di Indonesia. “Oleh karena itu, mahasiswa ingin belajar lebih dekat. Karena tidak semua negara mempunyai kewenangan seperti MK,” tutur Dekan fakultas Hukum tersebut.
Keinginan tersebut ditanggapi oleh Muhidin dengan menjelaskan seputar peran dan sejarah MK didirikan di Indonesia. Menurutnya, kalau ingin mengetahui awal mula MK berdiri, harus dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dalam hal ini, Ia mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Maksudnya, masyarakat Indonesia tidak bisa melihat kalau ada negara hanya mempunyai sistem demokrasi. Begitu sebaliknya, kalau tidak ada konstitusi, negara tidak akan ada yang mengatur. “Tanpa hukum, negara akan menimbulkan tirani mayoritas,” terang Muhidin.
Namun demikian, Muhidin melanjutkan, konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ada yang mengawal dan harus ada yang mengadili ketika ada pihak yang melakukan pelanggaran terhadap konstitusi tersebut. “Maka tugas itulah yang sekarang dimiliki oleh MK dalam salah satu kewenangan yakni judicial review (pengujian undang-undang),” ungkapnya.
Muhidin juga menambahkan bahwa kalau berbicara terkait dengan judicial review yang dimiliki oleh MK, sebenarnya Mahkamah Agung (MA) juga mempunyai kewenangan yang sama. Namun, menurut dia, MK menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945, yang mempersoalkan apakah UU tersebut konstitusional atau tidak? “Sedangkan MA, menguji UU di bawah UU, atau bisa dikatakan MA menguji legalitasnya saja,” tutur Muhidin.
Sedangkan kalau berbicara terkait dengan negara hukum yang demokratis, kata Muhidin, sebelumnya rakyat mempunyai sebuah lembaga tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun saat ini, lembaga tersebut tidak lagi sama tugas atau perannya. “Jadi, sekarang sistemnya check and balance (memeriksa dan menyeimbangkan). Termasuk MK melakukan check and balance terhadap lembaga negara lain,” ucapnya.
Di samping berbicara negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, Muhidin juga menjelaskan terkait dengan tugas dari lembaga MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Menurutnya, sebagai lembaga peradilan, MK mempunyai tugas mengadili, memeriksa, dan memutus suatu masalah yang masuk dalam persidangan.
Namun, ia juga menerangkan, kenapa Komisi Yudisial (KY) berbeda, padahal dalam UUD 1945 menyebutkan, KY masuk dalam Bab Kekuasaan Kehakiman? Oleh sebab itu, kata Muhidin, walapun KY masuk dalam Bab kekuasaan Kehakiman, namun sifatnya tidak menghasilkan putusan, tetapi hanya bersifat rekomendasi.
Kemudian memasuki sesi tanya jawab, ada salah satu dari mahasiswa yang menanyakan putusan MK yang bersifat final and binding (final dan mengikat). Kata mahasiswa tersebut, apakah putusan tersebut ada yang mengoreksi ketika ada kesalahan dalam putusannya? Muhidin menjawab dengan tegas, putusan MK tidak ada yang mengoreksi, dan harus dilaksanakan. “Namun, Masyarakat umum bisa membaca dan menilai dalam berkas putusan perkara yang bisa dilihat di website MK,” jelas Muhidin. (Shohibul Umam/mh)