Konflik di kalangan advokat rupanya masih belum selesai. Salah satu akar masalahnya adalah adanya ketentuan wadah tunggal organisasi advokat yang diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Meski beberapa organisasi advokat telah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi, dan juga telah dijatuhkan putusan, yakni Putusan No. 101/PUU-VII/2009 dan Putusan No. 66-71-79/PUU-VIII/2010, faktanya Putusan tersebut belum maksimal memberikan hasil yang positif demi perbaikan kondisi organisasi advokat di Indonesia.
Oleh karena itulah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (DPP IKADIN) melakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi pada Senin (13/2) siang, di Ruang Delegasi lt.15 Gedung MK. Hadir pada kesempatan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, didampingi Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Sedangkan dari pihak DPP IKADIN, tampak antara lain, Ketua Umum DPP IKADIN Todung Mulya Lubis, Sekretaris Jenderal Zulkifli Nasution, Teguh Samudera, Maruarar Siahaan, Maqdir Ismail, dan Ronggur Hutagalung.
“Untuk bertukar pikiran mencari format terbaik agar dunia advokat tidak terus menerus dirundung konflik berkepanjangan,” ujar DPP IKADIN dalam press release-nya. “Harapan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memberikan solusi ternyata tidak terwujud. Oleh karena itu, diskusi antara DPP IKADIN dengan MK diharapkan dapat melengkapi upaya DPP IKADIN mencari alternatif penyelesaian konflik di dunia advokat.”
Dalam diskusi terungkap bahwa terdapat masalah terkait begitu pluralnya organisasi advokat di Indonesia. Namun, hal ini tidak menjadi soal jika semua organisasi diakui keberadaannya dan diperlakukan sama. Faktanya, hingga kini masih banyak persoalan yang dihadapi oleh para advokat, khususnya bagi advokat yang belum memiliki kartu PERADI atau para calon advokat yang belum disumpah.
Akibat buruknya, kata Todung, tidak hanya dialami oleh advokat muda saja, melainkan berdampak pula kepada para pencari keadilan (justice seeker), yakni masyarkat. Selain itu, persoalan juga muncul dikarenakan ketentuan pewadahtunggalan organisasi advokat yang sulit untuk diimplementasikan. “Tidak pernah dunia advokat ini disatukan,” tegas Todung.
Namun, meskipun perbedaan merupakan hal yang tak dapat dihindari, ujar Todung, pihaknya menginginkan semangat kompetisi yang dibangun tetap sehat. “Perlu pendekatan-pendekatan yang beradab,” katanya.
Menanggapi “curhat” tersebut, Mahfud mengungkapkan, tentunya MK menginginkan hal yang terbaik dan berperan lebih banyak dalam menyelesaikan konflik. “Tapi melalui jalan-jalan yang mungkin secara yuridis,” ujarnya mengingatkan. Sayangnya, dalam hal ini MK hanya bisa memberikan pendapat hukumnya melalui putusan saja. Menurutnya, MK tidak berwenang untuk memberikan advise atau nasihat-nasihat hukum.
Sedangkan jika merujuk Putusan MK, ujar Mahfud, soal wadah tunggal itu merupakan pilihan politik hukum. “Melalui legislasi,” katanya. Oleh karena itu, ia menyarankan, dan sepakat dengan DPP IKADIN, persoalan ini sebaiknya diselesaikan melalui perubahan aturan yakni melalui jalur legislasi. “Itu jalan yang paling tepat,” ucapnya.
Adapun Akil Mochtar, berpandangan, persoalan ini sementara dapat ditangani jika para Ketua Pengadilan Tinggi (PT) bersedia melantik para calon advokat yang telah lulus ujian advokat. Karena, menurut dia, UU Advokat telah memberikan mandat itu kepada PT. Dengan catatan, masing-masing organisasi siap mempertanggungjawabkan para anggotanya.
Selain itu, DPP IKADIN juga menginfokan, pihaknya saat ini tengah berupaya mencari jalan keluar dengan mendorong usulan untuk diadakannya legislative review dengan mengundang para ahli untuk membuat naskah akademik dan Rancangan Perubahan UU Advokat. Selain itu, DPP IKADIN juga melakukan serangkain audiensi, yakni kepada para pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, pimpinan Komisi Yudisial RI, dan Kejaksaan Agung. (Dodi/mh)