Pada saat reformasi 1998, rakyat merasa memiliki kebutuhan yang mendesak terkait adanya pengadilan konstitusi. Pasalnya, dalam UUD sebelumnya tidak ada ketentuan atau sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan perintah konstitusi.
“Maka muncul perubahan UUD 1945 yang dilakukan keempat kali untuk memenuhi kebutuhan terkait adanya peradilan ketatanegaraan yang bertujuan menegakkan konstitusi, yaitu MK,” jelas Hakim Konstitusi Harjono saat memberikan materi kepada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) yang mengunjungi MK untuk mendapat “pendalaman materi” seputar MK, Senin (13/2).
Harjono selain memaparkan terkait alasan kemunculan MK, juga menyinggung persoalan model amandemen UUD 1945 yang dilakukan. Harjono menyampaikan bahwa UUD 1945 sudah mengalami empat kali perubahan. Namun, empat kali perubahan itu dilakukan berseri dari perubahan yang satu ke perubahan lainnya sampai ke perubahan terakhir.
“Jadi bukan perubahan pertama selesai, terus diubah lagi menjadi perubahan kedua. Perubahan yang dilakukan itu berseri, jadi perubahan yang keempat itu sudah komprehensif,” jelas Harjono.
Harjono kemudian menjelaskan perubahan UUD 1945 terjadi akibat keadaan ekonomi Indonesia yang terganggu pada tahun 1997. Kondisi ekonomi yang hancur kemudian menyebabkan ketatanegaraan Indonesia terganggu juga. Kekuasaan MPR yang sangat tinggi saat itu dan presiden yang menjadi mandataris MPR membuat presiden dapat campur tangan terhadap berbagai kegiatan bernegara, seperti Pemilu.
“UU Pemilu saat itu jauh sekali dari demokratis. Saya masih ingat bagaimana PPP waktu itu berusaha keras hanya memasukan kata ‘Luber Jurdil’ masuk ke dalam UU Pemilu dan tidak bisa juga,” kata Harjono menjelaskan.
Komposisi Hakim Konstitusi
Memasuki sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa Unila, Mulyawan Adiputra menanyakan mengenai komposisi hakim konstitusi. “Presiden kan juga ikut memilih tiga orang hakim konstitusi, kenapa presiden yang menetapkan juga?” tanya Mulyawan.
Pertanyaan Mulyawan ditanggapi oleh Harjono dengan mengatakan bahwa komposisi hakim konstitusi memang terbagi menjadi tiga orang dari DPR, tiga orang dari MA, dan tiga orang dari presiden. “Memang benar presiden juga memilih dan menetapkan. Karena apa? Karena presiden-lah pengelola keuangan tertinggi negara, kalau presiden tidak menetapkan, nanti hakim-hakim ini tidak digaji,” jelas Harjono dihiasi tawa.
Dosen Hukum Pidana Unila yang mendampingi para mahasiswa, Heni Siswanto diawal kedatangannya menyampaikan bahwa rombongan kali ini adalah rombongan peserta PKL (Praktik Kerja Lapangan) yang komposisinya dari berbagai semester. Heni mengatakan para mahasiswa berkunjung ke MK untuk mendapatkan pengetahuan tentang MK, “Kami berkunjung ke MK untuk mendapat pengetahuan terkait dengan MK.” (Yusti Nurul Agustin/mh)