Hukum digunakan untuk memuliakan manusia, itulah yang menjadi bagian dari hukum substantif. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki ketika menyampaikan materi pada sesi terakhir mengenai “Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Subtantif dalam Bingkai-Bingkai Nilai Pancasila” dalam temu wicara antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Dakwah Islamiyah pada Ahad (12/2), di hotel Millenium, Jakarta.
“Bangsa kita adalah bangsa yang plural, maka hukumnya pun plural. Misalnya saja di Yahukimo, Papua, yang hanya mengenal hukum adat dan tidak mengenal hukum nasional. Hal tersebut dikarenakan tingkat pendidikan, sosial, serta ekonomi masyarakat Papua yang berbeda. Oleh karena itu, sembilan hakim konstitusi dalam perselisihan hasil pemilukada Yahukimo memutuskan tidak mungkin memaksakan menggunakan UU Pemilu yang ada. Itu semua mengantisipasi terhadap perbedaan yang ada karena pada dasarnya hukum yang sama tidak bisa diterapkan dengan kondisi berbeda,” jelas Sodiki dalam acara yang mengangkat tema “Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK bagi Para Pengurus dan Aktivis Dewan Dakwah Islamiyah” tersebut.
Selain itu, Sodiki juga memaparkan ketika mendapat kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pemilukada, MK hanya diberi kewenangan untuk memutus yang berkenaan hasil. Namun seiring waktu, MK menemukan pemilu bukan hanya mengenai hasil, tetapi juga proses menuju hasil tersebut. “Kalau prosesnya benar, pasti hasil pemilunya benar. Akan tetapi, jika pemilunya tidak benar, maka hasil pemilu tersebut adalah semu. Tidak benar di sini dilakukan dengan cara-cara curang. Ibaratnya, masa kami (hakim konstitusi) begitu saja mensahkan pemilu hasil rampokan? Kami masih menggunakan hati nurani dalam memutuskan,” jelasnya.
Sementara itu dalam penutupan, Plh. Kepala Biro Humas dan Protokol MK Ahmad Budi Djohari mengungkapkan perlu adanya upaya untuk menghimpun kembali kesadaran kolektif kita bahwa negara ini dibangun dan berdiri di atas Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan orientasi negara. “oleh sebab itu pula, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 harus dijaga agar terus mengalir konsisten ke dalam setiap aktivitas, perilaku, dan tindakan seluruh elemen bangsa ini,” jelas Budi Djohari.
Kesadaran kolektif tersebut perlu dihimpun kembali, lanjut Budi Djohari, mengingat pada situasi sekarang ini, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 seolah justru terpinggirkan dan pada akhirnya mengakibatkan bangsa seperti sedang mengalami disorientasi dan distrust. Budi Djohari melanjutkan semangat kebangsaan dan nasionalisme melemah, kohesi sosial memudar, politik identitas mengemuka, tolerasi mengendur, dan problem-problem kebangsaan lainnya terus bermunculan. “Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, perlahan namun pasti, akan menggerogoti ketahanan dan kekuatan bangsa. Atas dasar kenyataan tersebut dan juga untuk menghimpun kesadaran kolektif diperlukan upaya serius untuk merevitalisasi dan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Salah satu upaya yang dilakukan MK dengan menyelenggarakan kegiatan ini (temu wicara),” terangnya.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah K.H. Syuhada Bahri menjelaskan MK lahir sebagai tempat untuk mengadu jika adapelanggaran hak asasi warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Menurut Bahri, MKK itu tidak berbicara mengenai memperkecil adanya pelanggaran yang terjadi. “Untuk itulah, menjadi tugas kita sebagai pendakwah dan pengajar untuk membina dan menata untuk menguruangi pelanggaran yang terjadi. MK hanya bertugas untuk mengawal aturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Kitalah yang berupaya untuk menyadarkan umat agar tidak melakukan pelanggaran. Nah, jika pelanggaran sudah terjadi, maka itu menjadi tugas MK. Perlu diingat bahwa keadilan merupakan hal yang mahal dalam hidup ini,” paparnya.
Selama tiga hari berlangsungnya acara temu wicara (10-12/2), berbagai narasumber mengisi berbagai materi. Para narasumber tersebut, di antaranya Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, dan Anwar Usman, serta Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra. Para hakim konstitusi membahas mengenai beberapa kewenangan yang dimiliki MK. Sementara Saldi Isra memaparkan mengenai perubahan UUD 1945 dan Sistem Ketatanegaraan RI Pasca Perubahan UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)