Sidang perkara Pengujian Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman digelar untuk pertama kalinya di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (10/2). Perkara yang teregistrasi dengan nomor 12/PUU-X/2012 ini sebenarnya memiliki perkara “kembaran”, yaitu perkara nomor 14/PUU-X/2012. Hanya saja perkara yang memiliki permohonan sama itu dimohonkan oleh Pemohon yang berbeda. Pemohon perkara 12/PUU-X/2012 merupakan perseorangan, yaitu Adittya Rahman GS, Jefri Rusadi, dan Erlan Basuki. Ketiganya diwakili kuasa hukum, M. Maulana Bungaran, dkk.
Kuasa Pemohon, Maulana Bungaran menjelaskan bahwa Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki penghasilan kurang dari dua juta rupiah per bulan. Dengan penghasilan sebesar itu, Para Pemohon mendalilkan bahwa mereka tidak dapat memiliki atau membeli rumah. Terlebih Pasal 22 ayat (3) menyatakan tempat tinggal harus memiliki luas paling kecil 36 meter per segi. Pasal tersebut berbunyi, “(3)Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”
Hal itu dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” “Bahwa menurut kami Pasal 22 ayat (3)UU Perumahan dan Pemukiman bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena terdapat pelanggaran konstuitusional yang bertentangan dengan hak-hak konstitusi Pemohon,” ujar Maulana.
Permohonan Pemohon tersebut kemudian dikomentari oleh Panel Hakim Konstitusi untuk perkara tersebut. Selain berkomentar, Panel Hakim juga diwajibkan untuk memberi saran atau masukan kepada Pemohon. Bila nantinya masukan tersebut diindahkan oleh Pemohon, hal itu menjadi hak Pemohon.
Ketua Panel Hakim Konstitusi Muhammad Alim mengatakan ada permohonan yang diregister dengan nomor 14/PUU-X/2012 yang persis sama dengan permohonan Pemohon No.12/PUU-X/2012. “Itu persis, pasal ini juga yang diuji, dan hanya satu pasal itu saja yang diuji. Saudara juga satu yang diuji, jadi kemungkinan pada sidang berikutnya akan digabung karena persis sama,” ungkap Alim.
Alim kemudian melanjutkan bahwa permohonan Pemohon 12/PUU-X/2012 dan 14/PUU-X/2012 hanya sedikt berbeda pada petitum permohonan. Pemohon 12/PUU-X/2012 meminta pasal tersebut dihapus, sedangkan Pemohon 14/PUU-X/2012 meminta minimal tipe 21 sebagai tempat tinggal. “Itu informasi saja buat Saudara. Jadi Saudara bisa saling rembuk ya dengan mereka,” saran Alim.
Sedangkan Hamdan Zoelva menambahkan bahwa struktur permohonan harus diubah. “Saudara pertama harusnya menulis kewenangan MK, baru kedudukan hukum. Karena nanti yang diperiksa pertama-pertama oleh MK apakah ini masuk ke kewenangan MK,” jelas Hamdan.
Hamdan juga mengatakan bahwa Pemohon harus fokus terhadap materi permohonan Pemohon. “Ini sekedar untuk Saudara renungkan, terserah Sudara. Saudara renungkan kembali apakah memang sama arti tempat tinggal dan rumah? Padahal seluruh dalil-dalil Saudara itu memiliki rumah, tolong itu fokus soalnya batu ujinya disebutkan tempat tinggal,” saran Hamdan. (Yusti Nurul Agustin/mh)