Demokrasi bukanlah segala-galanya karena memiliki cacat bawaan. Hal tersebut dikarenakan, demokrasi hanya mementingkan kuantitatif (suara terbanyak). Untuk itu, demokrasi harus diimbangi dengan nomokrasi. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar ketika membuka temu wicara yang mengangkat tema “Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK bagi Para Pengurus dan Aktivis Dewan Dakwah Islamiyah”, di Hotel Millenium, Jakarta.
“Nomokrasi mengandung arti kedaulatan hukum. Jadi, demokrasi tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri karena keadilan kadangkala keadilan muncul dari segelintir kalangan minoritas. Jika diterapkan secara bersama, maka akan terbangun negara konstitusional yang demokratis (constitutional democratic state),” urainya di hadapan para pengurus dan aktivis Dewan Dakwah Islamiyah pada Jumat (10/2).
Dalam kesempatan itu, Janedjri memaparkan latar belakang kelahiran MK yang didasarakan adanya teori kedaulatan. UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, lanjut Janedjri, menganut teori kedaulatan rakyat. Janedjri melanjutkan bahwa teori tersebut mengandung arti rakyat-lah yang berdaulat dan melahirkan paham demokrasi. Untuk itulah, MK lahir dengan wewenang yang luar biasa. “Ada yang mencandai bahwa ‘MK itu setingkat di atas malaikat dan sedikit di bawah Tuhan’. Hal ini terjadi karena putusan MK bersifat final dan binding (mengikat). Final berarti tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh setelah putusan MK,” urai Janedjri.
Janedjri kemudian memaparkan kewenangan MK, di antaranya memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review). Jika ada undang-udang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka MK diwajibkan untuk membatalkan undang-undang tersebut. Karena rakyat yang berdaulat, jelas Janedjri, meski hanya satu warga negara yang mengajukan, maka itu akan berimplikasi pada warga negara lain, misalnya saja permohonan pengujian UU APBN yang dilakukan oleh salah seorang guru yang berasal dari Banyuwangi. “Guru tersebut melihat pada APBN 2007 tertera anggaran untuk pendidikan kurang dari 20%, padahal amanat dari UUD 1945, anggaran untuk pendidikan haruslah 20%. MK membatalkan undang-undang tersebut dan yang mendapat manfaat dari keputusan itu bukan hanya guru dari Banyuwangi tersebut, namun seluruh guru di Indonesia,” jelas Janedjri.
Menyinggung kegiatan temu wicara tersebut, Janedjri meminta agar MK dibantu dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengawal dan penjaga ideologi (Pancasila) serta konstitusi (UUD 1945). Janedjri menjelaskan letak MK yang berada hanya di Jakarta, tidak memungkinkan MK untuk selalu bisa menyosialisasikan mengenai konstitusi dan Pancasila ke daerah-daerah. “Untuk itulah, diharapkan bantuan dari bapak dan ibu sekalian agar membantu MK melaksanakan fungsi untuk menegakkan konstitusi,” ucapnya.
Pada kesempatan itu, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah K.H. Syuhada Bahri menyampaikan dengan adanya kegiatan ini dapat menambah pengetahuan hukum bagi para pengurus dan aktivis Dewan Dakwah Islamiyah. “Semoga ilmu yang didapat dari kegiatan ini bisa bermanfaat,” ujarnya.
Kegiatan temu wicara yang diadakan selama tiga hari (10-12/2) ini akan diisi oleh berbagai narasumber. Para narasumber yang akan mengisi materi seputar Pancasila, Konstitusi dan MK, di antaranya para hakim konstitusi serta Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra. (Lulu Anjarsari/mh)