Usulan tentang meningkatkan porsi dana bagi hasil untuk daerah yang diinginkan oleh para Pemohon perkara No.71/PUU-IX/2011, untuk sumber daya alam khususnya migas, sangat sulit untuk diterima. Karena hal ini akan meningkatkan beberapa daerah tertentu yang bisa lebih baik posisi keuangan, tetapi justru akan memperburuk disparitas kemampuan antar daerah satu dengan daerah lain.
Demikian disampaikan oleh Ahli Pemerintah Machfud Sidik, saat memberikan keterangannya di depan Majelis Hakin Konstitusi, Kamis (9/2). Sidang mendengarkan keterangan ahli/saksi dari pemerintah dan para Pemohon tersebut, dihadiri juga oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Kehadiran Menkeu ke persidangan untuk mendengarkan dan memahami persidangan Pengujian UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terhadap UUD 1945. “Kami hadir untuk mendengarkan,” ucap Agus setelah ditanya oleh pimpinan sidang Mahfud MD.
Mengatasi Ketimpangan
Selain Machfud Sidik, Pemerintah juga menghadirkan Ahli lain di antaranya Robert A. Simanjuntak dan Arifin P. Soeria Atmadja, Masing-masing sebagai Guru Besar Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu, Simanjuntak menjelaskan terkait dengan Ekonomi Publik dan Keuangan Negara. Menurutnya, sesungguhnya perundang-undangan yang berlaku sekarang sudah berusaha mengatasi ketimpangan vertikal, dan mengatasi ketimpangan horizontal. Ketimpangan vertikal itu antara pusat dengan daerah, horizontal itu antar daerah.
Yang dipermasalahkan di sini, Simanjuntak melanjutkan, lebih kepada ketimpangan vertikalnya karena hanya melihat dari sudut daerah tertentu atau sekelompok daerah tertentu, terhadap pusat. “Tetapi sesungguhnya implikasi yang jauh lebih luas yang akan terjadi dan yang ingin saya angkat di sini itu adalah ketimpangan horizontal atau antar daerah sebagai konsekuensi logisnya,” ucap Simanjuntak.
Legislative Review
Sementara Arifin P. Soeria Atmadja dalam keterangannya mengatakan bahwa Dari paparan yang sudah disampaikan oleh para Pemohon, Saksi Fakta Pemohon, maupun Ahli. Dia menyimpulkan bahwa perkara ini sebetulnya bukan merupakan masalah-masalah yang berkaitan dengan judicial review, tapi berkaitan dengan masalah legislative review. Disebabkan dalam UUD 1945, Pasal 18A ayat (2), disebutkan hubungan keuangan. Namun, di dalam UU No. 33 Tahun 2004 itu disebutkan perimbangan.
Melihat kenyataan tersebut, Arifin mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh para Pemohon bukan merupakan suatu judicial review. Tapi, justru proses dari perundang-undangan itu yang tidak benar. “Oleh karena itu, sebaiknya Pemohon mengajukan hal itu bukan kepada Mahkamah Konstitusi, tapi kepada pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat,” saran Arifin.
Dalam akhir persidangan, Sidang Pleno yang dipimpin oleh Mahfud MD tersebut sebenarnya mendengarkan seluruh ketarangan ahli/saksi dari pemerintah, namun disebabkan waktunya sudah habis, maka sidang akan dilanjutkan pada sidang berikutnya. “Sidang akan dibuka kembali pada Rabu, 15 Februari 2012, Pukul 14.00 WIB, untuk melanjutkan keterangan Ahli dari Pemerintah,” terang pimpinan sidang Mahfud MD.
Selain itu, pada sidang berikutnya Mahkamah juga akan mengundang wakil-wakil rakyat yang ada di daerah. “MK pada sidang-sidang berikutnya akan mengundang wakil-wakil rakyat dari seluruh Indonesia yang resmi mewakili daerah-daerahnya yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),” undang Mahkamah melalui Pimpinan sidang.
Seperti diberitakan sebelumnya, para Pemohon yang terdiri atas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu, Sundy Ingan, Andu, Luther Kombong, H. Awang Ferdian Hidayat, Muslihuddin Abdurrasyid, dan H. Bambang Susilo mendalilkan bahwa pada Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 14 huruf e yang berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 15,5% untuk Daerah".
Sedangkan, Pasal 14 huruf f berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 30,5% untuk Daerah.”Dalam Pasal tersebut, ”frasa 84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah dan frasa 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (3), dan (4), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 33, Undang-Undang Dasar 1945. (Shohibul Umam/mh)