Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Amar putusan dengan Nomor 67/PUU-IX/2011 dibacakan oleh Ketua Mk Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi pada Kamis (9/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Muhammad Chozin Amirullah, Asep Wahyuwijaya, AH. Wakil Kamal, Ahmad Fauzi (Ray Rangkuti), Edwin Partogi, Abdullah STP, Arif Susanto, Dani Setiawan, Embay Supriyantoro, Abdul Rohman dan Herman Saputra.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Mahkamah menjelaskan sebagai ketentuan umum, Pasal 1 angka 4 UU 20/2009 bukan merupakan definisi utuh tentang nilai kepahlawanan, melainkan definisi dari gelar “Pahlawan Nasional”. Undang-Undang tersebut pada bagian ketentuan umum maupun pada bagian lainnya, lanjut Fadlil, tidak memberikan definisi khusus mengenai pahlawan maupun kepahlawanan, sehingga secara sistematis definisi tersebut harus ditemukan dalam keseluruhan bagian Undang-Undang tersebut. Fadlil melanjutkan, untuk menafsirkan nilai-nilai kepahlawanan, antara lain, dapat merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 25 Undang-Undang tersebut, yang berisi asas pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, serta syarat-syarat untuk memperoleh gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
“Dari penafsiran secara sistematis sebagaimana dimaksud di atas, Mahkamah berpendapat nilai yang diusulkan para Pemohon untuk diakomodasi sebagai tafsir ‘kepahlawanan’, yaitu keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban, telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari makna asas-asas dan syarat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pasal 1 angka 4 UU 20/2009 tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” urai Fadlil.
Sementara itu, dalil Pemohon mengenai keberadaan Pasal 25 huruf d, Pasal 24 huruf a, Pasal 26 huruf d UU 20/2009. Para Pemohon, lanjut Fadlil, mengkhawatirkan bahwa frasa “berkelakuan baik” yang menjadi syarat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, akan dimaknai secara sepihak oleh pendukung calon pahlawan tertentu untuk meloloskan calon pahlawan bersangkutan. Menurut Mahkamah, mendefinisikan nilai kepahlawanan secara tuntas dalam suatu peraturan perundang-undangan, terutama dalam bentuk Undang-Undang, cukup sulit dilakukan mengingat nilai kepahlawanan memiliki dimensi yang sangat luas. Untuk menampung keluasan dimensi nilai kepahlawanan, serta memberi ruang bagi pergeseran makna nilai-nilai kepahlawanan, definisi dan penjabaran nilai kepahlawanan (meliputi penentuan parameter atau kriteria) seharusnya diserahkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang seperti dinyatakan oleh Undang-Undang tersebut bahwa verifikasi terhadap usul pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, istilah ‘baik’ pada frasa ‘berkelakuan baik’ yang diatur dalam Pasal 25 huruf d UU 20/2009 telah jelas merujuk pada nilai baik yang diterima dan dipercaya oleh masyarakat atau bangsa Indonesia pada umumnya, dan karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” paparnya.
Selain itu, dalil Pemohon mengenai keberadaan unsur militer atau unsur yang berlatar belakang militer tidak dapat dilepaskan dari kategorisasi penerima gelar pahlawan yang dapat berasal dari militer. Untuk dapat memberikan penilaian dalam rangka memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan terhadap mereka yang berasal dari militer memerlukan pemahaman dari anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang berasal dari unsur militer. Selaras dengan hal tersebut, jelas Fadlil, kewenangan Presiden dalam pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 UUD 1945, dalam pelaksanaannya memerlukan masukan dari tim yang lebih mengetahui mengenai latar belakang para calon/kandidat penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Oleh karena warga negara Indonesia yang berlatar belakang militer juga memiliki hak yang sama untuk diajukan sebagai calon dan/atau menerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, maka unsur militer atau yang berlatar belakang militer juga diperlukan untuk memberikan penilaian terhadap calon/kandidat dimaksud.
“Apalagi Undang-Undang a quo tidak mensyaratkan militer aktif sebagai anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, melainkan dapat juga orang yang berlatar belakang militer atau purnawirawan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, keberadaan anggota yang berasal dari unsur ‘militer dan/atau berlatar belakang militer sebanyak 2 (dua) orang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b tidak bertentangan dengan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” terang Fadlil.
Dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. “Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)