Penegak hukum, terutama hakim, di Indonesia jangan sampai ‘kecanduan prosedur’ (procedural addicted). Sebab, jika logika berhukum seperti ini masih menjadi satu-satunya pegangan dalam menegakkan hukum maka rasa keadilan berpotensi terabaikan.
Demikian hal itu diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat menerima kunjungan para Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar ke Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/2). Dalam kunjungan itu, Fadlil memaparkan materi singkat berjudul “Perkembangan Mahkamah Konstitusi dalam Berhukum”.
Dalam paparannya, Fadlil menjelaskan hukum dari tiga aspek, yakni dari sisi ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Dari sisi ontologi, adalah menjadikan hukum sebagai objek kajian dalam suatu bidang keilmuan. Epistimologi, bagaimana cara orang tahu tentang hukum. Sedangkan aksiologi, bagaimana hukum itu dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurut Fadlil, dulu hukum dianggap sebagai sesuatu yang khas dan tertutup. “Karena punya nalar sendiri dan cara sendiri. Bahkan punya logika sendiri,” jelasnya. Namun kini, hal itu sudah mulai berubah. Sekarang, nalarnya sudah mulai terbuka. Semua orang bisa bicara hukum. Dengan kata lain, orang berhukum dalam semua aspek kehidupan. “All inclusiveness”.
Selain itu, di Indonesia dulu Undang-Undang Dasar 1945 ditegakkan melalui mekanisme politik. Padahal, lanjut Fadlil, menegakkan hukum dengan melalui mekanisme politik dapat diibaratkan dengan cacat bawaan sejak lahir. Sebab, mekanisme politik sangat dipengaruhi oleh jumlah atau kuantitas. Di mana, pengambilan keputusan beradasarkan pada mekanisme politik ini acapkali mengenyampingkan keadilan dan kepastian hukum. Bahkan, “nyaris gak ada,” tegasnya.
Oleh karena itulah, sekarang semestinya para penegak hukum berorientasi pada keadilan substantif. Menurut Fadlil, terkadang hakim harus berani menerabas belenggu aturan hukum formal untuk menemukan keadilan substantif. Hal ini sejalan pula dengan yang diupayakan oleh MK selama ini.
Menanggapi pertanyaan yang muncul dalam sesi tanya jawab, Fadlil mengakui, baik buruknya produk hukum tetap saja hal itu mesti dihargai dan dihormati sebagai hasil kerja lembaga legislasi. Tentu saja sepanjang belum dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh MK. Jika ada pandangan bahwa hukum itu dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik, menurut dia, merupakan hal yang wajar. Karena, dalam proses pembentukan hukum itu ada berbagai macam kepentingan, termasuk kepentingan politik. “Hukum itu produk politik,” kata dia seraya mengutip hasil desertasi Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD. (Dodi/mh)