Sidang Pengujian Pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memasuki sidang keenam dengan salah satu agendanya adalah mendengarkan keterangan saksi dan ahli yang dipanggil Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (7/2). Sidang perkara yang teregistrasi dengan nomor 79/PUU-IX/2011 ini mendengar keterangan antara lain Saksi Anggito Abimanyu dan Ahli Sofian Effendi.
Anggito Abimanyu yang sempat “ditawari” menjadi Wakil Menteri Keuangan di era Sri Mulyani menyampaikan kesaksiannya di hadapan Pleno Hakim yang diketuai Ketua MK, Moh. Mahfud MD. Anggito menyampaikan kronologis “tawaran” untuk menjabat sebagai wakil menteri saat itu. “Minggu terakhir bulan Desember 2009, Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, mengundang seluruh Esselon 1 di Kementerian Keuangan untuk menyampaikan bahwa Kemenkeu diminta mengusulkan calon Wakil Menteri,” ujar Anggito yang mengatakan bahwa akhirnya dirinyalah yang terpilih untuk menjadi Wakil Menteri Keuangan.
Selanjutnya, Anggito mengatakan bahwa pada tanggal 2 Januari 2010 ia bertemu dengan Sekretaris Kabinet saat itu, Sudi Silalahi di pesawat dari Yogyakarta menuju Jakarta. Saat itu Sudi, seperti yang disampaikan Anggito, mengatakan agar Anggito bersiap-siap karena mau diundang presiden dalam rangka pencalonan Wakil Menteri. Singkat kata, Anggito akhirnya menandatangani pakta integritas dan bersiap untuk dilantik dua hari lagi.
Namun sehari sebelum pelantikan, Anggito ditelepon oleh Sudi yang mengatakan bahwa Anggito belum bisa dilantik karena belum memenuhi syarat. “Sehari sebelum pelantikan, saya ditelpon oleh Sudi bahwa saya belum memenuhi syarat, yaitu harus golongan 1A sesuai Perpres No. 47 Tahun 2009. Saya saat itu memang masih 1B dan dalam proses untuk ke 1A,”jelas Anggito.
Karena hal itu kemudian Anggito segera memproses esselon 1A-nya. Setelah satu bulan, Anggito akhirnya menjadi esselon 1A namun belum bisa dilantik juga. Anggito mengungkapkan bahwa dirinya terus menunggu pelantikan yang dijanjikan, namun ketika Menteri Keuangan yang baru, ternyata Wakil Menteri Keuangan yang baru pun turut dilantik. "Pelantikan itu sekaligus Wamen yang baru, tanpa ada pemberitahuan kepada saya. Padahal saya sudah memenuhi esselon 1A. Sehingga saya menyatakan mundur. Saya mundur, karena saya memiliki harga diri dan semoga menjadi pelajaran yang berarti,” ungkap Anggito.
Sofian Effendi yang juga diundang oleh MK sebagai ahli menyatakan sewaktu UU Kementerian Negara dibuat para penyusunnya, termasuk Sofian, sudah memperkirakan bahwa pemerintahan pasca reformasi akan berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Karena pemerintahan sekarang lebih demokratis, dibutuhkanlah sistim kepegawaian yang berbeda. Adanya intervensi politik dalam bidang kepegawaian, memunculkan dua cabang jabatan, yaitu jabatan karir dan jabatan negara.
Sofian kemudian menjelaskan bahwa jabatan karir ditujukan untuk para PNS yang menduduki jabatan struktural, fungsional, dan administratif. Sedangkan jabatan negara dibagi lagi menjadi dua cabang, yaitu berdasar pemilihan dan berdasar penunjukan dari presiden. “Untuk itu syaratnya berbeda. Jabatan karir, terbuka untuk PNS yang memenuhi persyaratan. Sedangkan jabatan negara adalah jabatan yang terbuka untuk semua warga negara yang sebagian dipilih oleh rakyat dan sebagian lain ditunjuk oleh presiden,” jelas Sofian.
Sofian juga sempat menjelaskan mengenai riwayat adanya pengangkatan wakil menteri. Sejak awal-awal kemerdekaan sebenarnya sudah dikenal jabatan wakil menteri. Sejak saat itu wakil menteri selalu menjabat sebagai pejabat negara. Karena itulah, saat itu tidak ada persyaratan kepangkatan dengan pengangkatan wakil menteri.
“Namun, setelah UU No. 39 Tahun 2008 ini lahir timbulah komplikasi. Sebabnya UU No. 39 Tahun 2008 itu menetapkan bahwa jabatan Wamen sebagai jabatan karir eselon yang terbuka hanya untuk PNS. Konsekuensinya, kalau dia jabatan karir dia harus memenuhi persyaratan sesuai birokrasi pemerintah yang ada hierarkinya termasuk soal syarat esselon A1 itu,”jelas Sofian.
Namun, lanjut Sofian, sebenarnya ada jalan keluar untuk mengangkat wakil menteri yang bukan menduduki jabatan karir. Hal itu dimungkinkan karena sebenarnya presiden punya kewenangan untuk meenetapkan orang-orang yang dianggap paling cocok untuk menempati jabatan wakil menteri di kementerian tertentu.
“Presiden bisa mempunyai kewenangan untuk mengangkat menjabat non-PNS dengan cara diberikan pangkat lokal atau lebih tinggi atau sama dari pejabat-pejabat di bawah calon wakil menteri tersebut. Dan itu pernah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Habiebi. Saya pada waktu itu Kepala BKN mengangkat saudara Setianto yang non-PNS menjadi pegawai negeri pangkat 4D karena Pak Setianto diangkat menjadi Sesjen Departemen Infokom pada waktu itu,” ungkap Sofian yang melanjutkan pernyataannya bahwa presiden mempunyai kewenangan untuk itu dan sampai sekarang kewenangan itu belum dicabut. (Yusti Nurul Agustin/mh)