Negara Indonesia merupakan negara kebangsaan, negara konstitusional, dan negara demokrasi. Sehingga bisa disimpulkan bahwa negara yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 adalah negara kebangsaan yang konstitusional demokratis. Demikian yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono saat menjadi narasumber dalam sebuah acara “training of trainers (ToT) Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan di Lingkungan Lemhanas RI Tahun 2012,” Selasa (7/20) siang, di Gedung Pancagatra, Lemhanas, Jakarta.
Di dapan peserta diklat yang berjumlah 74 orang tersebut, Harjono juga menjelaskan bahwa negara Indonesia merupakan wahana bangsa Indonesia untuk merdeka, berdaulat, adil dan makmur. “Sehingga pemerintah secara internal harus melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indenesia. Sedangkan secara eksternal harus ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” urai Harjono.
Dalam makalah yang berjudul “Rancang Bangun Negara Pancasila Yang Konstitusional Demokratis”, Hakim Konstitusi itu juga menjelaskan makna dari Pancasila. Menurutnya, Pancasila sebagai way of life (cara hidup). “Artinya, Pancasila merupakan sebuah sistem gotong royong yang di dalamnya terkandung kebersamaan dan saling menghargai satu sama lain,” ungkapnya. Tetapi kalau berbicara komunisme, Harjono melanjutkan, sistem tersebut tidak bisa melebur dalam sistem gotong-royong. “Sehingga jangan bicara konsep komunisme, maka tidak akan ketemu,” pintanya. “Untuk memaknai unsur-unsur dari gotong-royong, Bung Karno (Presiden RI pertama) membuat filosofische groundslag (dasar falsafah).”
Selain itu, sebagai wahana untuk membawa bangsa Indonesia ke sebuah kehidupan yang dicita-citakan, lanjut Harjono, negara Indonesia memerlukan sebuah rancang bangun yang sesuai dengan maksud atau cita-cita bangsa, yakni sebuah kedaulatan sebagai ciri khusus sebuah negara, dan mempunyai tujuan atau untuk apa fungsi kenegaraan tersebut diarahkan.“Rancang bangun tersebut merupakan operasionalisasi dari dasar negara yaitu Pancasila. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi antara dasar negara dengan corak wahana yang diperlukan,” tuturnya.
Sementara perihal kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan baru tersebut, menurut Harjono, mempunyai implikasi terhadap kedaulatan yang dilakukan oleh lembaga negara, yakni implikasi bagaimana kedaulatan dilaksanakan, dan implikasi terhadap substansi dari kadaulatan itu sendiri.
Lebih lanjut, Harjono mengatakan bahwa walaupun lembaga negara diberi kekuasaan, tetapi kekuasaan tersebut berasal dari sebauh manifestasi dari kedaulatan rakyat. “Oleh karena itu, secara kebersamaan UUD 1945 memberi jaminan kepada warga negara adanya sebuah hak-hak tertentu yang tidak bisa diabaikan dan dilanggar oleh lembaga negara,” jelasnya.
Dalam akhir penyampaiannya, Harjono menuturkan bahwa UUD mempunyai nilai normatif yang artinya mengikat dan harus ditaati. Hal demikian ada karena UUD 1945 mempunyai fungsi sebagai hukum tertinggi negara. “Kalau hukum tertinggi tidak ditegakkan, maka isinya hanya berisi himbauan-himbauan saja,” terang Harjono. “Oleh karena itu, selain kontrol sosial dan politik, di UUD 1945 memerlukan mekanisme penegakan hukum yang fear (adil).”(Shohibul Umam/mh)