Jika suatu putusan bebas yang di dalamnya merehabilitasi kedudukan, harkat, dan martabat dari terdakwa, namun tidak dapat dilaksanakan karena ada upaya hukum, maka hal itu bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Ahli Hukum Pidana Chairul Huda ketika memberikan keterangan sebagai Ahli Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan dengan Nomor 85/PUU-IX/2011 ini diajukan oleh Bupati Non Aktif Lampung Timur Satono.
“Dalam hal telah adanya suatu putusan bebas yang di dalamnya merehabilitasi kedudukan, harkat dan martabat dari terdakwa, termasuk kedudukan terdakwa sebagai kepala daerah yang sempat diberhentikan sementara ketika menjadi terdakwa, tetapi tidak dapat dilaksanakan karena ada upaya hukum dari JPU, maka hal ini dapat dipandang sebagai suatu hal yang bertentangan dari jaminan hukum yang dijamin UUD 1945,” papar Chairul di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh.
Selain itu, Chairul juga memaparkan permohonan Pemohon, bukan mengenai pemberhentian sementara yang dialami Pemohon, namun mengenai putusan bebas yang dapat dilakukan upaya hukum terhadap itu. “Menurut saya inti persoalan pada apakah putusan bebas dapat dilakukakan upaya hukum? Putusan bebas mempunyai nilai tertinggi, suci dan tidak bisa dikoreksi dengan cara apapun dan berdasarkan ketentuan apapun. Pengadilan Negeri (Karang Anyar) dinyatakan bebas, maka tidak ada lagi cara untuk menyatakan dengan cara apapun juga putusan bebas dengan hal tersebut. Patut ditandai dan diprihatinkan proses hukum untuk melakukan upaya hukum baik kasasi dan peninjauan kembali untuk putusan bebas. KUHAP tidak pernah mengamanatkan penuntut umum untuk melakukan upaya hukum baik kasasi maupun PK,” jelas Chairul.
Menanggapi keterangan Ahli, Ketua Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD mempertanyakan putusan bebas berkenaan dengan situasi penegakan hukum terutama berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang banyak diwarnai dengan kolusi antara terdakwa dengan hakim. Menurut Mahfud, belakangan ini, telah menjadi suatu fakta baru adanya kolusi antara terdakwa hakim untuk tidak memberikan vonis hukuman ringa, namun langsung memvonis hukuman bebas. “Kalau dinyatakan putusan bebas tidak dapat dilakukan upaya hukum lain karena hakim sudah benar, itu karena (ada penilaian) hakim sudah memutus benar, hati-hati dan adil. Tapi kalau dalam fakta belakangan ini, banyak justru fakta koruptor bermain dengan hakim agar diputus bebas, maka tidak dapat lagi dihukum ringan, tapi langsung dibebaskan saja. Terbukti jika sudah diperiksa oleh MA lagi, sudah periksa fakta lagi ternyata masih salah bahwa yang masih bebas itu tidak bersalah, padahal banyak yang bermain pada tingkat itu,” urai Mahfud.
Chairul menanggapi pertanyaan tersebut mengungkapkan perlu adanya praduga untuk melihat setiap putusan bebas harus dipandang benar. Beberda halnya, Lanjut Chairul, jika sudah ada putusan dari pengadilan lain. “Semua putusan harus dipandang benar kecuali dapat dilakuakan sebaliknya oleh putusan pengadilan lain. Tidak sepatutnya juga kita menduga putusan bebas tersebut dihasilkan dari proses kolusi antara hakim dan terdakwa. MK sendiri sebenarnya punya kewenangan meutus pertama dan terakhir. Bagaimana jika dengan putusan tersebut ada orang yang mengira adanya kolusi di balik putusan itu? Kita harus berasumsi baik terhadap pengadilan negeri, yang mengeluarkan putusan pertama yang tidak ada upaya hukum.Hal tersebut merupakan ranah dari kebebasan dan kemadirian hakim yang tidak bisa diintervensi dan dipersoalkan hanya karena ada praktik-praktik kotor oleh oknum hakim dengan terdakwa yang berbuntut pada kebebasan.
Chairul juga menambahkan hukum pidana adalah hukum biasa-biasa saja, bukan hukum luar biasa. Oleh karena itu, hukum pidana mempunyai punya daya batas kemampuan ketika terdakwa dibebaskan. “Itulah batas hukum pidana. Tidak ada lagi yang bisa dipersoalkan karena itulah putusan yang paling suci dan agung, yang tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Biarlah Tuhan yang mengadili perkara itu di kemudian hari,” tandasnya.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR serta keterangan Ahli Pemohon tersebut, baik Pemerintah maupun DPR menyatakan permohonan Pemohon bukanlah mengenai konstitusionalitas norma pada UU a quo, namun berkaitan dengan aplikasi pasal a quo oleh penegak hukum,” jelas Suwarsono, perwakilan dari Pemerintah.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Andi M. Asrun, menyatakan Pemohon merasa dirugikan dengan adanya penerapan Pasal 244 dan 259 UU Nomor 8 Tahun 1981 yang salah dan tidak berdasarkan hukum. Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional terkait terhambatnya pemulihan jabatan Pemohon sebagai Bupati Lampung Timur. (Lulu Anjarsari/mh)