Perubahan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 bukan merupakan sesuatu yang haram. Namun dalam teori supaya UUD bisa diubah, salah satu isi penting dalam UUD 1945 adalah harus ada prosedur dalam UUD 1945 dalam mengubahnya. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat menjadi narasumber bertema “Implementasi Ketatanegaraan Saat Ini dan Implikasinya Terhadap Masa Depan Bangsa,”Jumat (3/2), di Kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Jl. Dempo Matraman, Jakarta Pusat.
“Rumusannya harus abstrak berlaku panjang supaya tidak mudah diubah, dan ada cara perubahan yang dipersulit. Dan UUD 1945 kita sudah memenuhi itu, sekurang-kurangnya sudah mempersulit untuk mengubahnya," lanjut Mahfud.
Di awal paparannya, Mahfud menjelaskan kepada pihak yang hadir bahwa sebagai Ketua MK tidak diperbolehkan untuk berbicara konstitusi baik atau buruk, karena Ketua MK hanya wajib melaksanakan isi yang sedang berlaku dalam konstitusi tersebut. “Oleh karena itu, penjelesan ini jangan dilihat saya sebagai Ketua MK, tetapi hanya sebagai akademisi saja,” pinta Mahfud.
Selanjutnya, Mahfud juga menanyakan mengapa UUD ingin diubah? Dalam hal ini, dia menjelaskan bahwa UUD tidak ada yang bisa disetujui oleh semua orang, dimana pun UUD itu berada. Ketika UUD sudah ditetapkan pasti ada yang protes. Sehingga kalau sekarang ada yang protes, nanti dulu dan untuk apa perubahan itu dilakukan? Karena UUD ketika diputus telah disetujui oleh semua orang.
Namun, Mahfud mengakui walaupun UUD sudah disepakati pada tahun 1945, tetapi saat berbicara negara federal, Hatta (Wakil Presiden pertama) mendukung negara federal. Pada saat itu, Hatta mengusulkan negara federal walapun dengan cara voting dan didukung hanya 7 orang. Kemudian hal yang sama terjadi saat membuat Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1969, menurutnya, pembuatannya juga terjadi kontroversi.
“Oleh sebab itu, Saya hanya ingin mengatakan bahwa kalau kita menunggu UUD harus disetujui oleh semua orang. Maka kita tidak akan mempunyai UUD,”terang Mahfud. Tetapi ada konvensi ketatanegaraan negara, Mahfud melanjutkan, kalau sudah disepakati, UUD itu akan mengikat. “Disepakati secara prosedur dan disahkan oleh lembaga yang berwenang. Maka anda setuju atau tidak? harus berlaku dan harus dipaksa berlakunya oleh negara, kalau kita mau hidup berkonstitusi,”urainya.
Mahfud juga menambahkan bahwa seumpama benar kita melakukan perubahan UUD, tetapi hal demikian untuk sekarang tidak mudah karena dalam UUD disebutkan bahwa kalau ingin mengubah UUD harus disetujui oleh sepertiga dari minimal anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menyebutkan Pasal dan Ayat mana yang harus diganti. “Sehingga harus diubah satu per satu, dan tidak bisa diajukan satu paket. Karena Pasal 37 UUD tersebut mengatakan seperti itu,” jelasnya.
Namun, menurut Mahfud, seluruh perdebatan teoritis terkait dengan perubahan UUD kalau ingin direalisasikan hanya ada satu jalan, yakni mengubah dulu Pasal 37 UUD 1945. “Kalau sekarang tanpa memikirkan Pasal 37 tersebut tidak akan bisa, karena kuncinya ada di sana,” ungkap Guru Besar Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta itu.
Selain itu, melihat sejumlah persoalan yang sedang di terjadi dalam persidangan, Mahfud mengatakan bahwa MK kedepan diharapkan bisa diberikan kewenangan Constitutional complaint (gugatan konstitusional). Maksud dari Constitutional complaint adalah warga negara yang sudah tidak ada jalur hukumnya lagi, misalnya seseorang yang sudah dijatuhkan hukuman tetapi hukumannya itu salah, padahal statusnya sudah PK (Peninjauan Kembali) di pengadilan, hal tersebut bias diajukan ke MK. “Kasus tersebut pernah diajukan ke MK, padahal MK tidak mempunyai kewenangan terkait hal tersebut,” tutur Mahfud.
Lebih jauh, Mahfud juga mengatakan bahwa Sekarang banyak terjadi putusan Mahkamah Agung yang sudah inkracth, tetapi oleh pemerintah tidak dilaksanakan. “Dan apabila kita mempunyai kewenangan Constitutional complaint, kemudian di bawa ke MK. Maka MK bisa akan memutusnya beserta penyelesaiannya,” papar Ketua MK itu. Hal demikian sebenarnya dalam persidangan sedang menghangat persoalan tersebut.
Acara yang diselenggarakan oleh ICIS bersama Dewan Perwakilan Daerah itu juga dihadiri sejumlah narasumber yaitu Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, Mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wahiduddin Adams. (Shohibul Umam/mh)