Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali dimohonkan pengujian materiilnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan digelar MK pada Jumat (3/2), di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 9/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Bupati Kutai Timur Ishan Noor.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Robikin Emhas, mengungkapkan bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31; Pasal 6 ayat (1) huruf e dan ayat (2); Pasal 9; Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, serta Pasal 19. Robikin menjelaskan pasal-pasal q quo telah melanggar hak pemohon yang diatur oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. “Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menghilangkan batasan administrasi wilayah. Akan tetapi, Pasal 1 angka 29 UU Minerba justru menabrak batasan tersebut,” urai Robikin di hadapan Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Harjono.
Menurut Robikin, Pemohon merasa Pemerintah berhak mengatur energi, sumber daya, dan mineral di daerah . “Padahal di dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 sudah diatur bahwa Pemerintahan Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan dengan otonomi daerah masing-masing,” jelasnya.
Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal-pasal a quo tetap berlaku, maka Pemohon selaku Bupati Kutai Timur tidak dapat mengatur dan mengurus penetapan wilayah pertambangan di daerah pertambangan. “Hal tersebut justru mempengaruhi pendapat daerah yang berimbas pada tidak terlaksananya program bagi masyarakat yang telah dicanangkan pada APBD,” tuturnya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva, memberikan beberapa sara perbaikan. Harjono meminta agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum pemohon (legal standing). “Bupati memohonkan permohonan ini sendiri sebagai perseorangan, tetapi dalam pokok permohonan, mengatasnamakan daerah. Ini harus diperbaiki. Selain itu harus bisa menhelaskan apa yang menjadi maslaah dalam permohonan, kalau tidak jelas, nanti permohonan akan (dinilai) obscuur libel oleh majelis hakim,” sarannya Harjono.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menyarankan agar Pemohon menyederhanakan dalil dalam pokok permohonannya serta memperbaiki ketidakkonsistenan pemohon dalam petitum. “Selain itu, petitum terlalu panjang dan pasal yang diminta terlalu banyak. Pemohon juga minta tafsir di satu poin, namun malah pada petitum lain, Pemohon minta mengubah bunyi pasal,” urai Akil.
Majelis Hakim Panel member waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Sidang selanjutnya mengagendakan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)