Perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) memasuki sidang pemeriksaan terakhir sebelum sidang pembacaan putusan oleh Mahkamah, Rabu (1/2). Sidang yang dimulai pukul 14.00 WIB itu beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pihak Pemerintah, yakni dua orang saksi yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, yaitu Darminto Hartono (Pakar Hukum Bisnis dari Unpad) dan Mariam Darus Badrulzaman (Pakar Hukum Bisnis dari UGM).
Pada sidang sebelumnya, PT Sarana Aspalindo, yang diwakili Syaiful mengajukan permohonan pengujian UU PUPN di MK karena menilai Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan pasal 12 ayat (1) UU PUPN menimbulkan ketidakadilan serta memberikan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI).
Menurut pemohon, UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 karena sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah masih belum bisa melakukan pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah, seperti halnya yang dialami Pemohon, karena terikat dengan kewenangan PUPN. Pemohon merasa diperlakukan diskriminatif karena di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan.
Terhadap permohonan Pemohon tersebut, Darminto dan Mariam menyampaikan keterangannya di hadapan Pleno Hakim yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dan beranggotakan Achmad Sodiki, Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.
Dalam kesempatan itu Darminto menjelaskan bahwa piutang negara adalah kekayaan atau modal PT Bank BUMN yang semula berasal dari badan hukum publik (APBN) telah dipisahkan dalam bentuk saham ke kekayaan Perseroan Terbatas. Hal itu bertujuan agar mekanisme pengelolaan piutang/ utang BUMN dapat dilakukan berdasarkan mekanisme Perseroan Terbatas.
Lebih lanjut Darminto menyampaikan bahwa piutang negara adalah kekayaan atau modal yang ditempatkan ke dalam badan-badan instansi pemerintah yang berbentuk Badan Layanan Umum atau Perum dengan tujuan untuk menyediakan barang/ jasa kepada masyarakat sehingga mekanisme pengelolaannya dapat melalui mekanisme PUPN.
Dengan kata lain, Darminto mengatakan Pemohon sebagai debitur PT BNI Tbk memiliki piutang privat yang mekanismenya dilaksanakan sesuai mekanisme UU Perseroan terbatas. “Piutang BUMN itu diperlakukan sama dengan piutang swasta lainnya. Perlakuan yang sama itu artinya perlakuan restrukturisasi dapat dilakukan melaui pola ‘hair cut’, ‘rescheduling’ maupun ‘debt to equity rasio’,” jelas Darminto.
Di akhir penjelasannya, Darminto menegaskan bahwa piutang negara yang berasal dari badan-badan instansi pemerintah adalah piutang negara yang pengelolaannya wajib diserahkan kepada lembaga PUPN agar menjadi lebih efektif dan efisien.
Mariam menyampaikan hal senada yang intinya menyatakan tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap Pemohon. Namun, Mariam dalam penjelasannya juga mengungkapkan mengenai ketiadaan legal standing Pemohon. Pasalnya, Pemohon dianggap tidak dapat membuktikan kerugian pada hak konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD 1945. “Kalaupun terdapat kerugian yang diderita oleh Pemohon di dalam bisnisnya hal itu tidak diakibatkan oleh UU PUPN, tetapi akibat risiko dalam bisnisnya yang seharusnya sejak semula sudah diketahuinya sebagai pelaku bisnis,”papar Mariam panjang lebar.
Di akhir sidang, Mahfud mengingatkan bahwa sidang kali ini adalah sidang terakhir sebelum pembacaan putusan. Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam persidanga harus sudah menyampaikan kesimpulan dan jawaban tertulis untuk pertanyaan yang belum sempat dijawab dalam persidangan. “Pemohon dan Pemerintah harus menyerahkan kesimpulan dan jawaban tertulis, terakhir ditunggu tanggal 8 Februari, jadi tepat seminggu yah,”ujar Mahfud mengingatkan. (Yusti Nurul Agustin/mh)