Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang telah diatur secara proporsional dan komprehensif. Meskipun demikian, daerah penghasil seharusnya mendapatkan pembagian yang jauh lebih memadai. Kalau tidak, akan terbukti apa yang dikatakan dalam pranata klasik bahwa "Ayam mati kelaparan di lumbung padi.” Bukankah perkara dalam sidang ini membuktikan adanya ancaman mati kelaparan ketika mereka masih di lumbung padi.
Demikian disampaikan oleh Ahli Pemohon Saldi Isra, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, saat memberikan keterangan dalam sidang Perkara No. 71/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang No.33 tahun 2004, khususnya Pasal 14 huruf e dan f, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terhadap UUD 1945. Agenda sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki adalah mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon dan Pemerintah.
Dalam persidangan ini, Saldi juga mengatakan bahwa Perumusan norma dalam pasal tersebut akan memberi lorong gelap dan berpotensi merugikan daerah penghasil. Frasa tersebut juga bisa digunakan untuk mengurangi pendapatan bagi hasil yang sudah sangat kecil itu. ”Oleh karena itu, timbul sebuah pertanyaan mengapa penghasil minyak bumi hanya mendapatkan 15.5%, dan penghasil gas bumi 30.5%?” tanya Saldi, saat memaparkan keterangannya.
Ahli Pemohon lain, Irman Putra Sidin mengatakan bahwa Pemerintah Daerah merupakan daerah yang selalu langsung bersentuhan apabila tingkat kesejahteraan mengalami kemerosotan, pendidikan yang kurang memadai sehingga menyebabkan gagal cerdas dialami oleh masyarakat kita. Lebih dari itu, menurutnya, daerah juga mempunyai peran penting untuk kedamain abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. ”Oleh karena itu, maka perlu untuk disebutkan dalam konstitusi hubungan kewenangan dan hubungan keuangan, mengingat sungguh besarnya ekspektasi seluruh daerah di Indonesia, guna pencapain tujuan negara,”ungkap Pakar Hukum Tata Negara ini.
Pada kesempatan yang sama dihadirkan juga saksi-saksi dari Pemerintah, di antaranya Bupati Tanah Datar Sumatera Barat, Shadig Pasadigoe. Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 berbunyi, ”Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Pasal ini, menurutnya telah mengamanatkan seluruh daerah yang ada di Indonesia merupakan satu kesatuan dalam sistem negara Indonesia.”Maka sumber daya alam, harus menceminkan kesatuan ekonomi, bukan hanya digunakan untuk kepentingan rakyat daerah penghasil saja,” jelas Bupati Tanah Datar tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Fransiskus Salem. Menurutnya, ketika Provinsi Timur-Timor yang sekarang Timor Leste memisahkan dari Indonesia, ada sekitar 350 ribu orang dari Timur-Timor pergi dan hidup di NTT.”Daerah yang miskin ini harus mengurus saudara-saudaranya yang mengalami kesulitan. Artinya, dalam kemiskinan masih tetap memperhatikan kondisi saudara-saudara kita yang susah,”jelasnya. Sampai sekarang, lanjut Fransiskus, kami tetap perjuang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Oleh karena itu, kami percaya majelis hakim akan memperhatikan penjelasan kami, walapun kami miskin, tetapi kami percaya, kami hidup dan tinggal dalam panji kesatuan NKRI. Dan, kekayaan alam yang ada di dalamnya akan dibagi secara adil kepada kami yang tidak mempunyai sumber-sumber kekayaan alam,” papar Fransiskus, saksi dari Pemerintah.
Seperti diberitakan sebelumnya, para Pemohon yang terdiri atas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu, Sundy Ingan, Andu, Luther Kombong, H. Awang Ferdian Hidayat, Muslihuddin Abdurrasyid, dan H. Bambang Susilo mendalilkan bahwa pada Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, terutama Pasal 14 huruf e yang berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 15,5% untuk Daerah". Sedanghkan, Pasal 14 huruf f berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% untuk Pemerintah; dan, 2. 30,5% untuk Daerah.”Dalam Pasal tersebut, ”frasa 84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah dan frasa 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (3), dan (4), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 33, Undang-Undang Dasar 1945. (Shohibul Umam/mh)