Permasalahan bangsa yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena lemahnya konstitusi, sistem politik, ataupun pemerintahan. Demikian ditegaskan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD, di hadapan peserta dialog bertema “Menatap Masa Depan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Senin (30/1), di Yogyakarta. Menurutnya, apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan masalah perilaku penyelenggara negara yang bobrok.
Dalam dialog untuk memperingati 50 Tahun Universitas Kristen Duta Wacana itu, dinyatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, sekarang ini di tengah-tangah masyarakat muncul keprihatinan akibat berbagai hal, mulai dari masalah ekonomi, politik, pertahanan, keamanan dan lainnya. Sehingga muncul pertanyaan, mengapa reformasi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Selain itu, Mahfud mengungkapkan, beberapa waktu lalu dirinya didatangi tiga jenderal purnawirawan yang mengatakan ada tiga masalah dengan reformasi. Pertama pada konstitusi, kedua sistem politik dan sistem rekrutmen politik yang kurang benar, misalnya rekrutmen kader politik tidak diangkat karena kualitasnya, namun karena punya uang. Dan ketiga, pemerintahan kita lemah, birokrasi kita korup sejak jaman orde baru.
Terhadap permasalahan sistem politik dan rekrutmen politik, fenomena yang terjadi adalah rekrutmen politik dilakukan bukan karena kualitas dari kader politik, melainkan berapa banyak uang yang dimiliki kader tersebut, padahal kita sepakat untuk berdemokrasi, bukan untuk menang-menangan, apa lagi persaingan itu bukan lagi karena ideologi, namun persaingan uang. Uniknya, saat ini justru Barat sedang membangun demokrasi deliberatif, seperti yang dulu kita bangun, yang kita sebut demokrasi permusyawaratan ketika dialog lebih dikedepankan. Namun, saat ini prinsip permusyawaratan itu kini justru ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, dan yang muncul adalah fenomena keserakahan.
Kompleksitas permasalahan Indonesia tak lepas dari pengamatan pria kelahiran Sampang tersebut, menurutnya masalah implementasi sistem menjadi masalah bangsa ini. Pemerintahan kita masih dikuasai kekuatan-kekuatan yang korup dan kecurangan-kecurangan politik yang menjadi warisan masa lalu. Bahkan semua menjadi percaya kalau legislatif kita korup dan kotor, proses legislasi dari pusat-daerah pakai uang, berbeda dengan era 50-an dimana proses legislasi diwarnai perjuangan hingga ke tingkat bawah. Menurutnya, saat ini korupsi sudah dimulai dari penyusunan Undang-Undang APBN, ketika era Orde Baru, korupsi terjadi saat pelaksanaan proyek, dan tidak ada teori konstitusi yang dapat mengubah perilaku.
“Selain itu, eksekutif tidak kalah bobroknya dengan legislatif,” tukasnya. Bahkan dari 440 kepala daerah yang menang pemilukada, 167 diantaranya masuk penjara, informasi tersebut diperoleh dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah beberapa waktu lalu. Diakui olehnya dunia yang digelutinya saat ini, dunia yudikatif, juga sama bermasalahnya. “Korupsi seperti ini tidak memandang agama, sebab uang tidak memiliki agama,” selorohnya.
Diungkapkan oleh Mahfud MD, ketika reformasi tahun 1998, aktivis kampus beserta rakyat menjatuhkan pemimpin dan pejabat karena marah pada pemerintahan orde baru yang dinilai korup, namun kita hanya marah dan menurunkan presiden serta menterinya saja, sedangkan birokrasinya tidak diperbaiki. Sehingga sampai saat ini masih banyak perilaku birokrasi yang korup. Hal itu membuat penangkapan koruptor oleh KPK menjadi tidak ada gunanya. Menurutnya KPK hanya menangkap koruptor maksimal 10 orang per tahun, tapi koruptor terus bertambah setiap hari, karena korupsi ada di birokrasi.
Mengenai ideologi dan konstitusi, baginya bernegara adalah berkonstitusi, kita bernegara berarti sepakat hidup bersama, dan kesepakatan itu dituangkan dalam konstitusi. Kita sepakat menganut paham kebangsaan, maka dalam negara ini ada pluralisme, dimana perbedaan kita gunakan untuk membangun dan hidup bersama. "Semua unsur perbedaan untuk kemajuan bersama, dalam ideologi kita sebut Pancasila, dan ikatan premordialisme itu menjadi pemersatu,”ujarnya.
Dalam pandangannya, semua agama memiliki nilai-nilai universal mengajarkan kebaikan, keadilan, penghargaan kepada alam, dan lain sebagainya. Sehingga kita tidak perlu mempermasalahkan masalah keimanan seseorang. Maka tugas kita menjaga keutuhan bangsa baik ideologi maupun teritori. Dengan demikian tidak boleh ada separatisme, kesewenang-wenangan, ataupun dominasi suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Berbicara demokrasi maka berbicara kedaulatan rakyat, dimana ada kebebasan berdasarkan persamaan, maka harus ada hukum yang mengontrol kebebasan itu. “Kalau Indonesia diukur secara ideologis, maka sudah baik untuk indonesia, baik ideologi maupun konstitusi, dan tidak ada masalah dengan nilai dasar kita,”tegasnya.
Ditambahkan olehnya, kita perlu perlu pemerintahan yang kuat, bukan orang yang kua. Karena, orang yang kuat justru menimbulkan otoritarianisme. Menurutnya, proses pemerintahan yang bersih dan kuat hanya dapat dibangun oleh dua hal, yaitu merah putih, merah melambangkan orang yang berani, dan putih orang yang melambangkan kebersihan. Orang berani tapi tidak bersih akan berbahaya bagi semua orang, dan orang yang bersih tanpa keberanian tidak akan jalan. Merah putih sebenarnya adalah tuntutan bagi sistem ketatanegaraan kita, pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi beserta beberapa hakim konstitusi menghadiri acara pengukuhan Prof. Dr Edwar OS Hiariej sebagai guru besar Fakultas Hukum UGM. (Ddy/Ilham/mh)