JAKARTA, PedomanNEWS.com - Kasus warga yang menolak tambang di Bima, Nusa Tenggara Barat, yang berujung menewaskan tiga orang yang terjadi 24 Desember 2011, atau bentrokan tidak akan terjadi, jika pemerintah tegas dalam surat persetujuan dan ketidaksetujuan rakyat dalam penetapan wilayah pertambangan dilakukan dengan benar.
“Sebelum perusahaan tambang membuka lahan, mereka harus mendapat pesetujuan dari masyarakat. Jika suatu wilayah itu kandungan mineralnya sangat besar dan kaya, tapi masyarakat tidak menyetujui, ya mereka tidak dapat membuka lahan tambang,” jelas Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi.
Mengenai persetujuan dan ketidaksetujuan rakyat dalam penetapan wilayah pertambangan, hal itu telah diatur dalam UU Minerba No.4 Tahun 2009, pasal 10, butir b yang menyatakan penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
Pengajuan proses sidang uji materi dan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Minerba di atas jua belum dikeluarkan MK. “Poinnya adalah ketika MK mengabaikan atau tidak mengambil keputusan setelah 30 hari, kami akan mengajukan gugatan ke pengadilan. Surat permohonan kami dimasukkan Februari 2011, sampai sekarang putusan belum keluar. Secara konstitusi, MK bertanggung jawab terhadap masalah Bima,” jelas Iki Dulagin, Tim Advokasi Hak atas Lingkungan Hidup.
“Yang memohonkan UU lebih di spesifikasikan bukan Walhi tapi warga yang berada di daerah pertambang, seeprti warga dari Kulonprogo, Minahasa Utara, Pati, Bima, dan lainnya,” tambah Pius. Ketika MK lewat juru bicaranya, Akil Mochtar, dihubungi oleh pedomanNEWS.com belum dapat memberikan jawabannya, karena tugas luar kota.