Merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), beberapa perwakilan orang tua siswa, dosen beserta aktivis Indonesia Corruption Watch mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (27/1). Sidang perkara dengan Nomor 5/PUU-IX/2012 ini dimohonkan oleh Andi Akbar Fitriyadi, Nadya Masykuria, Milang Tauhida, Jumono, Lodewijk F. Paat, Bambang Wisudo, dan Febri Hendri Antoni Arif.
Dalam sidang beragendakan pemeriksaan pendahuluan tersebut, para Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Wahyu Wagiman, mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945 terlanggar akibat berlakunya Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 50 ayat 30 menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Wahyu mengungkapkan bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa. Pemohon memiliki anak yang bersekolah di sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan merasakan banyaknya perbedaan yang didapat sehingga menimbulkan diskriminasi.
“Berdasarkan praktiknya sangat sulit orangtua untuk masuk ke RSBI karena persyaratan ketat dan biaya tinggi, praktik diskriminasi juga muncul dalam sekolah berskala internasional. Kelas regular mendapat perlakuan tidak baik, serta fasilitas yang kurang. Kalau internasional, fasilitas lengkap dan guru-gurunya berkualitas. Hal ini menyebabkan tidak hanya potensi pelanggaran, tetapi juga menimbulkan pelanggaran hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang baik,” ujar Wahyu di hadapan Majelis Hakim Panel Konstitusi Anwar Usman.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan satuan pendidikan seperti RSBI justru menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Hal tersebut, lanjut Wahyu, karena dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 terdapat frasa “satu sistem pendidikan nasional” diartikan sebagai satu sistem yang digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan nasional. “Maka dengan adanya satuan pendidikan bertaraf internasional menurut Pasal 50 undang-undang a quo menimbulkan dualisme pendidikan,” urainya.
Dalam sidang tersebut, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki yang menjadi Anggota Majelis Hakim Panel menyarankan agar Pemohon memperjelas kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas. Menurut Sodiki, sesuatu pasal jika ingin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi harus dijelaskan secara komprehensif dilihat dari psikologis, “RSBI itu bertentangan dimana? Karena masih tercakup dalam sisdiknas. Di sini hanya disebutkan mengenai taraf pendidikannya bukan sistemnya. Dari penelusuran saudara yang bertentangan dengan konstitusi yang mana? Kelirunya dimana jika orang mengadakan pendidikan bertaraf internasional?” saran Sodiki.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Harjono mengungkapkan Pemohon harus memperjelas relevansi adanya dugaan mark up dan penyimpangan anggaran dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. “Apa relevansi dugaan mark up dan penyimpangan dengan konstitusionalitas pasal? Apakah ini masalah ini timbul karena UUD 1945 atau aplikasi di lapangan? Dalil Pemohon belum eksplisit, harus dijelaskan bertentangannya di mana?” terangnya.
Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)