“Bicara soal Mahkamah Konstitusi, pasti kita bicara soal judicial review. Kalau kita merunut sejarah Mahkamah Konstitusi seluruh dunia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan Mahkamah Konstitusi ke-78 di dunia,” urai Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso saat memberi kuliah singkat kepada para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Sriwijaya Palembang, Jumat (27/1) pagi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Fajar melanjutkan, yang menjadi kewenangan utama MK adalah judicial review, sebagai mekanisme untuk menguji norma-norma hukum yang disusun secara hierarkis.
“Kalau kita baca teori-teori mengenai hierarki hukum, maka hukum itu tersusun dari hukum yang memiliki derajat paling tinggi, kemudian turun seperti sebuah anak tangga. Norma-norma hukum di bawahnya harus mengacu pada norma-norma hukum di atasnya, dan seterusnya, hingga pada norma hukum paling tinggi yaitu konstitusi,” papar Fajar.
Teori mengenai hierarki hukum itulah, lanjut Fajar, yang menjadi inspirasi negara Austria yang mendirikan Mahkamah Konstitusi pertama kali di dunia pada 1920.
“Karena pada saat itu potensi terjadi konflik norma, terutama UU terhadap UUD, sangat besar. Selain itu, tidak ada lembaga negara yang bisa menyelesaikan masalah itu,” ucap Fajar.
Oleh sebab itu, sambung Fajar, pakar hukum Hans Kelsen mengusulkan perlunya sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan khusus untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD. Pemikiran Hans Kelsen itu kemudian berkembang ke seluruh dunia.
“Bahkan negara-negara eks-komunis di Eropa Timur, yang sedang mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi, menganggap penting adanya Mahkamah Konstitusi untuk mengawal konstitusi dalam sebuah negara,” ungkap Fajar.
Pasca Reformasi Politik 1998 di Indonesia, kata Fajar, agenda prioritas saat itu adalah melakukan perubahan UUD 1945. Karena ternyata UUD 1945 memiliki banyak celah kelemahan, yang dimanfaatkan oleh penguasa ketika itu untuk melanggengkan kekuasaan.
“Maka tahun 1999-2002 dilakukan perubahan UUD 1945. Kala itulah para pengubah UUD mencetuskan gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia, karena melihat Mahkamah Konstitusi menjadi fenomena ketatanegaraan baru di dunia,” ujar Fajar.
Lebih lanjut Fajar mengatakan, kewenangan MK di berbagai negara memang bervariasi. Seperti misalnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang berwenang memutuskan pembubaran partai politik, yang hal ini tidak dimiliki Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, atau tidak dimiliki Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.
“Jadi, wewenang Mahkamah Konstitusi setiap negara bervariasi. Namun, wewenang yang sama dari setiap Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia adalah menguji UU terhadap UUD atau judicial review. Semua Mahkamah Konstitusi di dunia pasti punya wewenang ini, sedangkan wewenang lainnya boleh berbeda,” tandas Fajar. (Nano Tresna A./mh)