Keselamatan rakyat dan keselamatan negara adalah hukum tertinggi di negeri ini. Kalau ingin menyelamatkan rakyat Aceh, di dalam hukum tertinggi ada yang mengatakan bahwa buatlah hukum-hukum yang bermartabat, meskipun hal demikian berbeda dengan hukum itu sendiri. Dan dalam kasus ini tidak bertentangan dengan konstitusi.
Demikian disampaikan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat diminta mengomentari kasus dalam Pemilukada Aceh dalam acara Talkshow Suara Anda Suara Konstitusi yang bertema “Pemilukada Aceh,” Rabu (25/1), Pukul 19.00 WIB, di Hotel Sultan, Jakarta.
Kemudian, Mahfud juga mendukung apa yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri melakukan upaya sengketa kewenangan lembaga negara ke MK. Menurutnya, kalau hal demikian tidak dilakukan, sesuai dengan analisis Kementerian Dalam Negeri, bagaimana keadaan lima tahun ke depan, kalau partai terbesar yang ada di Aceh tidak ikut? “Oleh karena itu, di dalam hukum ada sistem kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum,” tegasnya.
Acara terselenggara atas kerjasama MKTV dengan MetroTV itu dalam membicarakan kasus tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Hakim Konstitusi Harjono, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hafidz Anshary, Ketua Badan Pengawas Pemilu Bambang Eka Cahyo Widodo, Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Arif Wibowo, dan Kadiv Humas Mabes Polri Saud Usman Nasution.
Dalam kesempatan yang diberikan, Harjono mengatakan bahwa sesungguhnya Putusan Sela yang dikeluarkan oleh MK terkait dengan Aceh tidak terlepas dengan putusan-putusan yang sebelumnya. Sementara gugatan pertama muncul dalam persidangan MK adalah meminta kepastian kepada MK, apakah Pemilukada yang diselenggarakan tanpa ada 2 (dua) hal yaitu salah satunya belum adanya kesepakatan pemerintah dengan DPR Aceh terkait dengan calon independen.
Dalam situasi seperti ini, oleh sejumlah pihak menganggap belum ada kepastian hukum, sehingga mereka mengajukan permohonan ke MK. Oleh karena itu, ada pihak yang menunggu setelah ada kepastian hukum mereka akan menentukan sikap. Sementara MK menetapkan putusan sela MK itu hanya waktu 7 (tujuh) hari. “Pada akhir putusan itu baru diketahui sah tidaknya Pemilukada di Aceh. Sehingga waktu tersebut belum menentukan kepastian hukum bagi yang menunggu keputusan itu,” urai Harjono.
Berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh moderator, mengapa Kemendagri mengajukan sengketa kewenangan ke MK, kenapa tidak melakukan Perpu? Menanggapi hal demikian, menurut Gamawan, persoalan yang terjadi di Aceh sudah lama terjadi. Kami sudah melakukan berbagai dialog dengan masyarakat Aceh, tapi kondisinya belum bisa diselesaikan. Sehingga kita melakukan permohonan sengketa ke MK. “Saya melakukan ini bukan lari dari tanggung jawab tetapi mencari solusi lain apa yang lebih baik,” ucapnya.
Dalam akhir perdebatan, Ketua KPU menjelaskan kepada masyarakat bahwa dengan dijalankan putusan sela MK yang memerintahkan KIP Aceh untuk membuka pendaftaran lagi, sebenarnya hal tersebut adalah sebuah titik terang bagi Pemilukada di Aceh. “Ini harus kita pelihara dengan semua pihak agar Pemilukada bisa berjalan dengan baik dan lancar,” harapnya. Kami di KPU dan KIP Aceh, lanjut Hafidz, sangat mendukung perdamaian, karena perdamaian tersebut adalah di atas segala-segalanya. Sedangkan dari Bawaslu dalam pernyatan akhir menyatakan siap mengawasi sedangkan Kadiv Humas Mabes Polri menyatakan siap mengamankan.(Shohibul Umam/mh)