Seminar Nasional yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi bertema “Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah” setelah sesi pertama dan kedua, pada Kamis (26/1) sekitar pukul 09.00 WIB ini masuk Sesi III dengan tema “Pemilukada: Kini dan Masa Datang” dengan narasumber: Eddy O.S. Hiariej (Ahli Hukum Pidana UGM), Topo Santoso (Ahli Hukum Pidana Pemilu UI), Didik Supriyanto (Ketua Pelaksana Harian Perludem), dan Budiman Tanuredjo (Redaktur Pelaksana Harian Kompas). Sesi ini dimoderatori oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Dalam kesempatan pertama, Eddy O.S. Hiariej menyampaikan materinya mengenai “Pemilukada Kini dan Masa Datang: Perspektif Hukum Pidana”. Dalam paparanya sebagai ahli pidana, Eddy mengemukakan selain pelanggaran administrasi, dikenal pelanggaran pidana yang secara garis besar dibedakaan dengan tindak pidana pemilu dengan tindak pidana di bidang pemilu.
Tindak pidana pemilu dapat digolongkan sebagai korupsi. Salah satu tipe korupsi adalah election fraud dan corrupt campaign practice. “Dua tipe korupsi, yaitu election fraud yang terjadi pada pemilu, mulai pendaftaran pemilih, bahkan sampai tahap penghitungan suara, yang di dalamnya terdapat money politic. Tipe kedua, yaitu corrupt campaign practice, praktik kampanye korup, dalam hal ini susah membedakan mana korupsi atau tidak,“ jelasnya. Penegakan hukum tindak pidana di bidang pemilu mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam tindak pidana pemilu, menurut Eddy, subjek hukumnya tetap orang pribadi, disamping pelakunya khusus, seperti KPU. “Soal pertanggungjawaban dipengaruhi subyek hukum. Sebetulnya, undang-undang kita tidak menyentuh partai politik. Jadi biasanya dibebankan kepada orang perorangan. Seharusnya pelanggaran bisa menjangkau parpol tersebut,” tegasnya.
Hal menarik yang disampaikan Eddy, mengenai banyaknya perkara karena keterbatasan waktu, maka perkara akan gugur. Menurutnya semua tindak pidana bisa diteruskan kepada tindak pidana biasa. “Harusnya bisa diteruskan kepada tindak pidana umum, meskipun telah melawati tenggang waktu,” katanya meyakinkan.
Beberapa pertanyaan sempat terlontar dari ahli hukum pidana UGM Yogyakarta ini, “Apa tidak menutup kemungkinan dialihkan ke DPRD?” Pemilukada ke depan perlu dilakukan perbaikan-perbaikan.
Topo Santoso, sebagai pembicara kedua menyampaikan materi mengenai “Pemilukada Pengalaman dan Penataan Kembali”. Beberapa persoalan dikemukakannya mulai dari pencalonan, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan calon terpilih, penegakan dan penyelesaian hukum, pelaporan dana kampanye dan lainnya. Mengenai pencalonan, Topo meggarisbawahi pencabutan dukungan partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD sering memunculkan gejolak. Soal pemungutan suara, juga dikemukakan ketidakseragaman cara memilih bisa membingungkan pemilih. Beberapa persoalan tidak perlu disikapi dengan mundur ke belakang, misalkan politik uang dengan solusi pemilukada kembali ke belakang dengan dipilih oleh DPRD. Mengenai konflik yang terjadi, kata Topo tidak terjadi di semua daerah. “Kurang dari 10% konflik dalam pemilukada,” tegasnya.
Masalah mengembalikan penyelesaikan sengketa pemilukada ke Mahkamah Agung (MA), Topo menyatakan, “Dalam konteks pemilu, penyelesaian lebih tepat oleh MK, beban di MA sangat banyak. Memang dalam beberapa putusan MK ada problem, tetapi tidak serta merta menyerahkan kembali ke MA.”
Menyikapi banyaknya konflik di daerah, bagi Topo tetap sebagai masalah serius. Sebelum masuk kampanye, jauh hari kampanye sudah dilakukan dengan berbagai bentuk. Kampanye besar-besaran tidak bisa ditindak untuk calon yang sedang menjabat. Oleh karenya perlu terdapat pembatasan-pembatasan progam pemerintah yang digunakan oleh calon kepala daerah yang sedang menjabat dalam sebelum tahapan kampanye ini.
Dalam usulan-usulan perbaikan yang dikemukakan Topo, mengenai penyelesaian pelanggaran, baik dalam Pemilu Legislatif, Presiden dan Kepala Daerah, misalkan terdapat perbedaan waktu, pelaporan dan penyelesaian masing-masing pelanggaan. “Banyak pelanggaran, karena batas waktu, akan dikuburkan. Pelanggaran legislatif telah lewat, maka pelanggaran juga lewat,” kata Topo. Menurutnya harus sinkron berbagai Pemilu yang diselenggarakan tersebut.
Sedangkan Budiman Tanurejo yang menyampaikan materinya, dalam analisis wacana media, terdapat tiga diskursus. Menurut catatannya, pertama bahwa kekerasan mendominasi media massa. “Terdapat 51 kerusuhan pilakada, bukan yang diajukan ke MK, memang tidak terlalu banyak, terbanyak pada 2008.”
Kemudian, yang kedua, meluasnya korupsi dalam pemilihan kepala daerah. “Kedua, dari data Kemendagri, ada 155 kepala daerah, 17 gubernur yang terjerat kasus korupsi. Hampir seratus, sehingga republik tersandera korupsi. Sebab korupsi ini biaya politik mahal. Pernah berjumpa dengan calon dengan mengeluarkan biaya 200 miliar dan tidak dibiayi sendiri,” jelasnya.
Sedangkan ketiga, pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRD. Bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dipilih secara demokratis, sedangkan pemilu presiden dilakukan secara langsung, kata Budiman, menimbulkan perbedaan tafsir dan celah bagi tuntutan melakukan revisi UU Pemda.
Namun, menurut jajak pendapat terkait kepala daerah dipilih langsung atau oleh DPRD, Budiman mengungkapkan data bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung tetap menjadi pilihan masyarakat. Namun, masyarakat tidak puas dengan kinerja pimpinan daerah, dengan tingkat kepuasan dengan yang tidak puas secara seimbang. “Pada Januari 2012, yang menyatakan puas 57,1 persen, tidak puas 38,4 persen, tidak tahu/ jawab 4,5 persen,” paparnya.
Didik Supriyanto yang memaparkan pandangannya terakhir, mengatakan bahwa berbagai permasalahan terjadi dalam Pemilukada. Mengenai jadwal Pemilu, oleh Didik menempati posisi penting sebagai solusi segala permasalahan yang terjadi. Menurutnya, Pemilu Presiden, DPR, DPRD dipisah pelaksanaannya dengan Pemilu Kepala Daerah dan DPRD, sehingga menjadi Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Menurutnya hal ini untuk memperkecil peluang pemerintahan yang terbelah, sehingga pemerintahan berjalan efektif.
Banyak ahli merekomendasikan saat Pemilu Legislatif dan Presiden disatukan, maka akan menghasilkan pemerintahan yang kuat. Jika Pemilu dibarengkan, kata Didik, menghasilkan pemerintahan yang kongruen, karena calon terpilih didukung partai yang memilihnya. “Apalah arti demokrasi, pemilu dan sebagainya jika menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif,” tegas Ketua Pelaksana Harian Perludem dalam paparan makalahnya berjudul “Penataan Kembali Sistem Pemilihan Dalam Pemilukada”.
Banyak pertanyaan dikemukakan oleh peserta untuk para narasumber yang dipandu oleh Moderator Hakim Konstitusi Anwar Usman, misalkan Wahidah Suaib, Anggota Bawaslu ini mengusulkan agar definisi money politic diperjelas dan politik uang berlaku tidak hanya masa kampanye saja. Pertanyaan datang juga dari Ketua KPU Sulteng, Polda Jateng, Ketua KPU Sampang dan lain sebagainya, sementara acara sudah waktunya berakhir sehingga banyak peserta belum berkesempatan mengajukan pertanyaan atau mengemukakan pendapatnya terkait pengalaman dan upaya menata ulang Pemilukada ke depan. (Miftakhul Huda)