Seminar Nasional “Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah” yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi telah memasuki Sesi Pertama, Rabu (25/1) pagi, di Ballroom Hotel Sultan, Jakarta. Bertindak sebagai narasumber: Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, dan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan. Selaku moderator sesi ini ialah Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Tema yang diangkat pada Sesi Pertama ini adalah “Sengketa Pemilukada, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi”. Dalam paparannya, para narasumber mengupas tema tersebut dari berbagai aspek. Diantaranya, dari sisi normatif, sisi perkembangan penanganan perkara perselisisihan hasil Pemilukada selama ditangani oleh MK, hingga perumusan rancangan UU Pemilukada yang sedang berjalan saat ini.
Sebagai pembicara pertama, Djohermansyah Djohan mengungkapkanm, bahwa dari segi desentraliasasi, Pemilukada merupakan sarana pendidikan politik bagi rakyat. Namun sayangnya, menurut dia, faktanya masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik pada tingkat peraturan perundang-undangan maupun implementasinya. Salah satunya adalah terjadinya pecah kongsi antara pasangan kepala daerah yang sedang menjabat. “Apa yang bisa diandalkan dari fenomena pecah kongsi?” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, Kemendagri kemudian mengusulkan agar nantinya kepala daerah tidak dipilih secara berpasangan. “Sesuai dengan UUD 1945, kembali ke model pemilihan tunggal,” terangnya. Menurutnya, secara eksplisit, Konstitusi kita tidak ada menyebutkan wakil kepala daerah dalam rumusannya.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa saat ini, Pemerintah juga sedang mengusulkan untuk mengembalikan pemilihan gubernur kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebab, kata dia, otonomi yang dimiliki oleh kabupaten/kota berbeda dengan provinsi. Di mana, provinsi memiliki otonomi terbatas dan tugas gubernur lebih kepada perwakilan pusat di daerah, sedangkan kabupaten kota otonominya luas. Disamping itu, agar legitimasi pemerintah daerah di kabupaten/kota juga tetap kuat.
Sedangkan Achmad Sodiki, mencoba menjelaskan persoalan Pemilukada dari aspek filosofis. Menurutnya, kualitas pencapaian Pemilukada sangat dipengaruhi oleh mutu proses yang dilaluinya. “Hasil ditentukan proses. Prosesnya penuh kecurangan hasilnya tak bagus. Oleh sebab itu MK tidak terpaku pada penghitungan angka-angka,” tegasnya.
Dengan kata lain, sambung Sodiki, pelaksanaan Pemilukada sebagai wujud proses demoratisasi pada dasarnya merupakan proses pembudayaan masyarakat. Bahkan, dia mengibaratkan bahwa kecurangan yang dilakukan selama Pemilukada, yakni dengan menghalalkan segala cara demi kemenangan, sama saja dengan tindakan yang primitif. “Apa artinya menang jika dicapai dengan cara tak berbudaya itu,” katanya.
Namun, Sodiki tidak menampik kalau mewujudkan cita-cita bangsa yang demokratis membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Apalagi, masyarakat Indonesia bisa dikatakan sangat heterogen. “Proses Pemilukada di Indonesia unik.”
Dan, di situlah peran MK, menurut Sodiki. Karena, usia demokrasi di Indonesia masih cukup muda, beberapa aturan Pemilukada masih tidak jelas, dan dalam implementasi masih terdapat beberapa kelemahan bahkan pelanggaran. “Peran MK adalah bagian dari pendemokratisan, pembudayaan, dan pengangkatan harkat dan martabat manusia,” imbuhnya.
Sementara itu, Maria Farida Indrati dan M. Akil Mochtar, dalam paparannya banyak mengungkapkan fakta-fakta kecurangan yang terungkap dalam persidangan MK serta berbagai pertimbangan hukum yang melatarbelakangi putusan-putusan MK. Beberapa pelanggaran yang terungkap di antaranya: money politics, pelibatan aparat penyelenggara Pemilukada (baik Panwaslu maupun KPU di daerah), birokrasi, pemalsuan data, sampai dengan intimidasi.
Akil Mochtar, membagi makalahnya dalam tiga pokok bahasan. Pertama, terkait statistik penanganan perkara di MK. Kedua, pengklasifikasian amar putusan MK disertai pertimbangan hukum yang melatarbelakanginya. Dan ketiga, kesimpulan serta beberapa catatan untuk perbaikan Pemilukada ke depan.
Dari sudut pandang statistik penanganan perkara menunjukkan, meskipun hampir rata-rata 85 persen pelaksanaan pemilukada di seluruh Indonesia diperkarakan ke MK, namun hanya sekitar 15 persen saja yang dikabulkan oleh MK. Ini artinya, tingginya intensitas perkara Pemilukada yang diperkarakan berbanding terbalik dengan kemampuan para Pemohon untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi hasil secara segnifikan.
Menurut Akil, hal ini menunjukkan dua hal, yakni disatu sisi mengindikasikan peserta tidak puas dengan penyelenggaraan Pemilukada. Di sisi lain, para kandidat, “siap menang tapi tidak siap kalah.” Dalam konteks inilah kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi diuji.
Selanjutnya, setelah seluruh narasumber menyampaikan materinya, seperti biasa, para pesertapun kemudian mengajukan pertanyaan atau sekedar mengemukakan pendapatnya. Saat kesempatan dibuka, hampir sebagian besar peserta ingin mengemukakan pandangannya. Tercatat setidaknya delapan penanya saat itu yang diberi kesempatan, termasuk peserta seminar yang turut mengikuti jalanya seminar melalui sarana video conference. Acara ini memang ditayangkan secara langsung melalui sarana vicon yang dimiliki oleh MK yang tersebar di beberapa fakultas hukum di seluruh Indonesia.
Acara seminar bertema ”Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah” dibagi dalam tiga sesi dengan Sesi I bertema ” Sengketa Pemilukada, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi”, Sesi II bertema ”Penyelenggaraaan dan Penyelesaian Pelanggaran Pemilukada”, dan Sesi III bertema ”Pemilukada: Kini dan Masa Datang”. Seminar yang berlangsung pada 24-26 Januari 2012 ini diselenggarakan MK dengan tujuan menumbuhkan pemahaman bersama tentang pentingnya peningkatan kualitas pelaksanaan Pemilukada, mengidentifikasi kelemahan dan pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilukada, dan dan merumuskan pemikiran perbaikan sistem dan pelaksanaan Pemilukada di masa mendatang. (Dodi/mh)