Segenap anggota Klub Perpustakaan Indonesia (KPI) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (25/1) pagi. Kedatangan mereka diterima langsung oleh Peneliti MK Irfan Nur Rachman dan Kepala Perpustakaan MK Hanindyo, yang berlanjut pada sesi kuliah singkat seputar latar belakang terbentuknya MK, wewenang MK maupun hal-hal terkait lainnya.
“Tujuan kedatangan kami adalah untuk mengenal lebih jauh MK, selain juga mengunjungi perpustakaan MK,” kata Ny. Subagio selaku Ketua KPI.
Mengawali kuliah singkat, Irfan Nur Rachman mengatakan,“Kalau kita kilas balik ke belakang, MK lahir akibat perubahan konstitusi pada 1999-2002.” Dijelaskan Irfan, saat perumusan perubahan konstitusi itulah muncul ide menyeimbangkan sistem pemisahan kekuasaan di negara Indonesia, yang terkait mekanisme saling kontrol dan saling mengawasi antarlembaga negara.
“Kemudian muncul MK sebagai salah satu lembaga negara yang mempunyai fungsi kontrol itu. Dalam hal ini MK sebagai lembaga yudikatif,” urai Irfan.
Irfan melanjutkan, perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan reformasi. Para akademisi, praktisi, mahasiswa sepakat bahwa UUD 1945 yang di masa orde baru dianggap sakral, ternyata mengandung ‘cacat yuridis’.
“Artinya, UUD 1945 mengandung kelemahan sejak kelahirannya. Kelemahannya, antara lain tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan,” kata Irfan yang juga mengungkapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan, dikenal adanya pembagian kekuasaan (distribution of power).
“Pada UUD 1945 setelah amandemen, tidak mengenal lagi pembagian kekuasaan, tetapi mengenal pemisahan kekuasaan (separation of power). Kalau dulu, yang memegang kekuasaan membentuk UU dengan kekuasaan besar pada Presiden. Sekarang dikembalikan lagi kepada DPR sebagai fungsi legislasi,” ucap Irfan.
Dikatakan Irfan lagi, perubahan UUD 1945 ternyata membawa dampak luar biasa bagi kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Akibat perubahan UUD 1945, maka lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia semuanya berubah. Dari yang semula lembaga tertinggi di tangan MPR, setelah perubahan UUD 1945 lembaga tertinggi di Indonesia sudah tidak ada lagi.
“MPR, DPR, Presiden, DPD, MA, MK, BPK kedudukannya sejajar, tidak ada yang lebih tinggi. Yang tertinggi adalah konstitusi, karena sistem ketatanegaraan yang baru kita mengenal adanya supremasi konstitusi. Oleh sebab itu kita meletakkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi di negara Indonesia,” papar Irfan yang mengangkat topik “Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945” itu.
Lebih lanjut Irfan memaparkan wewenang dan kewajiban MK. Wewenangnya yaitu menguji UU terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. “Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945,” tandas Irfan. (Nano Tresna A./mh)