Ahli Pemohon Nyatakan Wakil Menteri Inkonstitusional
Kamis, 19 Januari 2012
| 17:18 WIB
Keberadaan Wakil Menteri inkonstitusional. Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah mengamanahkan adanya wakil menteri dalam struktur pemerintahan. Setidaknya, hal ini bertentangan dengan Pasal 17 ayat (4) UUD 1945.
Demikian hal tersebut dinyatakan oleh para ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam perkara nomor 79/PUU-IX/2011. Saat itu, hadir Ahli Yusril Ihza Mahendra dan Margarito. Dalam hal ini, Pemohon menguji Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Menurut Yusril, Konstitusi hanya memerintahkan kepada pembentuk UU untuk membuat UU yang mengatur tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara, bukan tentang pengorganisasian kementerian negara yang sangat detil seperti yang ada sekarang. âTidak sesuai dengan perintah Konstitusi,â tegasnya.
Bahkan, lanjut Yusril, dalam melakukan uji konstitusionalitas UU Kementerian Negara ini, Pemohon semestinya mengajukan juga uji formil. Karena, UU ini membuat norma sendiri yang tidak sejalan dengan UUD 1945. âSehingga tidak memenuhi syarat formil pembentukan perundang-undangan,â katanya.
Meskipun, secara historis dan jika ditilik dari konvensi ketatanegaraan, keberadaan wakil menteri memang pernah ada. Faktanya, Mantan Presiden Soekarno pernah mengumumkan adanya tiga wakil menteri dalam kabinet pertamanya. âWakil menteri saat itu adalah anggota kabinet,â jelas Yusril.
Selain itu, lanjutnya, pada masa orde baru juga pernah memunculkan menteri muda. âTapi menteri muda itu jobnya jelas,â terang Yusril. Namun pada praktiknya tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran menteri muda disamping adanya seorang menteri, memunculkan âperang dinginâ diantara para menteri yang menduduki jabatan tersebut.
Akhirnya, ia menilai, wakil menteri dengan job yang tidak jelas seperti dalam UU Kementerian Negara tidak memberi kemanfaatan demi jalannya pemerintahan. âMubazir dan berlebihan,â ungkapnya.
Pendapat tersebut kemudian dibenarkan oleh ahli lainnya, Margarito. Menurut dia, jika membaca risalah sidang pembahasan Perubahan UUD 1945 saat itu, tak ada satupun anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang bermaksud untuk membentuk UU Kementerian Negara, apalagi membentuk jabatan wakil menteri. âTidak ada sama sekali,â ujarnya. âDengan nalar konstitusionalitas apa DPR dan Pemerintah membentuk norma tersebut.â
Faktanya, sambung dia, PAH I MPR saat itu memimpikan akuntabilitas. Ia menyimpulkan bahwa pasal yang diuji itu adalah inkonstitusional. âPerumusannya kabur, sekaligus tak berkepastian (hukum),â imbuhnya.
Sementara itu, hadir pula Agun Gunanjar Sudarsa sebagai saksi sekaligus ahli. Agun yang juga merupakan Ketua Pansus RUU Kementerian Negara dihadirkan oleh Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan keterangan terkait proses pembahasan lahirnya UU Kementerian Negara tersebut.
Â
Dalam keterangannya, Agun banyak menyitir risalah sidang saat pembahasan rumusan dalam UU Kementerian Negara. Pada intinya, kata dia, wakil menteri bukanlah anggota kabinet. Selain itu, dalam draft usulan dan naskah akademik, jabatan wakil menteri tidak ada. Wakil menteri itu diawali dari draft DPR. âAdanya staf khusus berjumlah lima orang,â paparnya. Namun, rumusan staf khusus saat itu mendapat tentangan cukup keras dari Pemerintah.
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar pada Selasa (24/1) pukul 11.00 WIB, di ruang sidang MK. Rencanannya, Majelis akan menghadirkan tiga menteri untuk didengarkan keterangannya, yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Sekretaris Negara, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. (Dodi/mh)