Seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, dan sekarang tengah diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Maluku selaku Penyidik, melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/1). Dia adalah Djailudin Kaisupy selaku Pemohon dalam perkara No. 2/PUU-X/2012.
Dalam hal ini, Pemohon memohonkan Pengujian Undang-Undang (UU) Kejaksaan No. 16 tahun 2004 dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d, berbunyi, “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang.” Menurut Pemohon mendalilkan, pasal tersebut telah bertentangan dengan hak-hak konsitusionalnya. “Dan menyatakan pasal tersebut tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum,” jelas pemohon dalam berkas permohonannya.
Lebih dari itu, Pemohon juga mengatakan, pasal tersebut tidak bisa memberi kepastian hukum dalam penanganan kasus atas dirinya. “Dengan adanya Pasal 30 ayat (1) huruf d tahun 2004 tentang kejaksaan, tidak sejalan dengan dan kontradiksi dengan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHP,” ungkap Pemohon.
Sedangkan di dalam UU KUHP secara tegas telah diatur tugas dan fungsi jaksa adalah sebagai penuntut umum, bukan sebagai penyidik. Sehingga menimbulkan multi-tafsir dan berpotensi menimbulkan tafsir yang inkonstitusional. “Dan Pasal 30 itu juga bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum yang merupakan hak asasi, sebagaimana tertuang didalam pasal 28D ayat (1) dan pasal 28 j ayat (2) UUD 1945,” urai Pemohon.
Di samping itu, Pemohon dalam petitumnya menyatakan bahwa kejaksaan telah melampaui kewenangannya sebagai penuntut umum dan atau menyatakan bahwa penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Maluku terhadap Pemohon adalah tidak sah karena telah melampaui kewenangannya bukan selaku penuntut umum, tetapi penyidik.
Pada kesempatan itu juga, disampaikan nasehat-nasehat yang diberikan oleh Majelis Hakim Konstitusi yang terdiri dari Ahmad Fadlil Sumadi (ketua), didampingi Achmad Sodiki dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai anggota. Misalnya, Fadlil Sumadi memberi nasehat terkait dengan jabatan rangkap yang dimiliki oleh kejaksaan yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum. “Tetapi belum ada penjelasan dalam permohonan mengapa merangkap jabatan itu bisa merugikan hak konstitusional anda,” jelas Fadlil.
Kemudian Sodiki mempertanyaan terkait dengan petitum Pemohon. Dalam nasehatnya, ia mengatakan bahwa semestinya Pemohon dalam petitumnya menyertakan Pasal 50 huruf d dan penjelasannya itu bertentangan dengan UUD 1945. “Sebagaimana mana disebutkan sebagai tolak ukur Pasal 28D dan Pasal 28 j ayat (2),” terangnya.
Setelah dimohonkan bertentangan, lanjut Sodiki, Pemohon harus menyertakan UU itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Kemudian pengujiannya terkait dengan normanya bukan terhadap perilaku dan perbuatan kejaksaan yang sudah melampaui kewenangannya,” jelas Sodiki.
Dan nasehat terakhir disampaikan oleh Alim. Menurutnya, Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa berdiri sendiri, dia harus dibawah koordinasi oleh penyidik kepolisian. “Jadi tidak berarti dia melampaui,” jelasnya. Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Apakah anda ingin memperbaiki atau tidak, itu terserah Saudara,” jelasnya. (Shohibul Umam/mh)