Ahli Pemohon: UU Panitia Urusan Piutang Negara Inkonstitusional
Rabu, 18 Januari 2012
| 19:52 WIB
Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/1), di Ruang Sidang Pleno. Pemohonan yang teregistrasi dengan Nomor 77/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh PT. Sarana Aspalindo Padang.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, Pemohon menghadirkan Guru Besar Hukum Ekonomi UI Erman Rajagukguk. Erman dalam keterangannya menjelaskan UU No. 49/Prp/1960 bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. “UU No. 49/Prp/1960 bertentangan UU No. 19/2003 tentang BUMN dan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Selain itu, Pasal 4 dan Pasal 8 UU No. 49/Prp/1960 tersebut konstitusional sepanjang dimaknai tidak berlaku bagi piutang persero,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil ketua MK Achmad Sodiki.
Sementara itu, untuk pemotongan utang debitur, Erman menjelaskan Pemerintah seharusnya mengikuti fatwa Mahkamah Agung, tapi karena adanya UU a quo, maka terjadi ketidakpastian hukum. “Hal ini juga menimbulkan kerugian bagi perekonomian nasional serta menyebabkan ketidakpastian hukum,” paparnya.
Pemohon merupakan perseroan terbatas yang melakukan kegiatan usaha dengan cara memasarkan dan menjual aspal curah yang memiliki utang kepada PT Bank Indonesia, Tbk. Berkenaan dengan semakin besarnya jumlah utang dan dalam upaya penyelesaian utang a quo, para Pemohon telah beberapa kali mengajukan permohonan kepada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. selaku kreditur dan sebagai bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara) agar besar utang para Pemohon dan kelompok anak perusahannya untuk dapat diberi keringanan berupa pemotongan utang pokok. Akan tetapi, permohonan para Pemohon tersebut tidak dapat dipertimbangkan oleh bank yang bersangkutan selaku kreditur dengan dasar alasan dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 49 PRP/1960, sehingga piutang Bank BUMN a quo kepada para Pemohon dianggap sebagai piutang negara. Dan berkenaan dengan itu, maka bank BUMN a quo tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan pemotongan utang. (Lulu Anjarsari)