Mahkamah konstitusi (MK) melakukan rapat konsultasi dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di lantai 8, Gedung Nusantara III Dewan Perwakilan Daerah, Jakarta. Dari pihak MK diikuti oleh 8 (delapan) Hakim Konstitusi, di antaranya Moh. Mahfud MD (Ketua), Achmad Sodiki (Wakil Ketua), Harjono, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Akil Mochtar, Dan Anwar Usman.
Kemudian Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dan Panitera MK Kasianur Sidauruk juga ikut dan mendampingi para hakim konstitusi dalam menghadiri acara itu. Rombongan para Pimpinan MK tersebut disambut langsung oleh para pimpinan DPD, di antaranya Irman Gusman (Ketua), Laode Ida (Wakil Ketua), dan sejumlah pimpinan yang duduk di lembaga negara terhormat itu.
Dalam mengawali rapat resmi yang dilakukan antara dua lembaga itu, Irman mewakili pihak tuan rumah menyampaikan maksud dengan diadakan acara ini. Salah satunya adalah Pertemuan tersebut menyingkapi bagaimana demokrasi berkembang, dan bagaimana sebuah keputusan membawa dampak, serta bagaimana langkah-langkah kedapan bisa diharapkan terkait dengan hubungan antara MK sebagai lembaga hukum yang sangat penting dengan DPD sebagai lembaga legislatif.
Menyingkapi keinginan dari para Pimpinan DPD itu, Mahfud MD selaku Ketua MK menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan perkembangan kasus-kasus yang terkait dengan lembaga MK, di antaranya soal amandemen UUD 1945. Dalam hal ini, MK tidak boleh menilai apa yang sudah ada dalam UUD 1945. Soal rencana perubahan UUD, MK bersifat pasif. ”Dan apapun bentuknya terkait dengan perubahan UUD, MK hanya mengikuti,” urai Mahfud.
Selain itu, Mahfud juga menjelaskan terkait sejumlah perkara yang pernah masuk di MK. Menurutnya, sebanyak 392 perkara sejak tahun 2008 telah masuk ke MK, dan hanya 45 perkara yang permohonannya dikabulkan. ”Jadi tidak mencapai 15%, kami membatalkan hasil Pemilukada. Sehingga tidak benar kalau ada yang mengatakan hasil Pemilukada ditentukan oleh MK,” jelas Ketua MK itu.
Mahfud menambahkan, dari 45 perkara yang dikabulkan, yang didiskualifikasi sekitar ada 4 perkara. Dalam 4 perkara itu, alasan MK sangat kuat. ”Kalau tidak akan menimbulkan ketidakadilan,” jelasnya.
Sebenarnya, lanjut Mahfud, kasus yang harus ditangani oleh DPD adalah kasus Pemilukada Papua. Karena dalam kasus Pemilukada Papua, setiap orang yang kalah berperkara, para pendukung dari calon pasangan itu akan mengamuk. ”Lebih dari itu, banyak yang membakar kantor Walikota, ada yang membakar rumah Bupati, bahkan ada yang mengamcam akan keluar dari NKRI, ’itu kan para sekali,” tutur Mahfud.
Hal senada juga disampaikan oleh Akil Mochtar. Menurutnya, biasanya kalau di Pemilukada di daerah lain ada surat suara yang tidak sah, akan tetapi di Papua tidak ada suara yang tidak sah, ”surat suara semuanya sah,” jelasnya.
Sementara itu, terkait dengan pernyataan Akil yang mengibaratkan DPD sebagai mata, telinga, dan tenaganya Daerah dinilai sebuah ungkapan yang sangat bagus oleh sejumlah pimpinan anggota dewan terhormat itu. Selain itu, mereka juga mengungkapkan kepada MK persoalan yang mereka hadapi selama ini, yaitu banyak pemikiran yang kita hasilkan, tetapi sama sekali diabaikan. ”Kalau terus berlanjut, maka akan mubadlir (terbuang sia-sia). Bukan tidak mempunyai peran tetapi diabaikan,” jelasnya. ”Dan ini sangat membuat gelisa kami sebagai anggota DPD, karena betapa teman-teman DPR mengabaikan hak-hak konstitusional dari DPD. Mungkin kami bisa melakukan judicial review terhadap UU yang bersangkutan.”
Dalam persoalan tersebut, Harjono mengatakan bahwa tidak mudah untuk melakukan hal tersebut, karena banyak aspek-aspek yang harus dilalui supaya apa yang diinginkan itu bisa tercapai. ”Namun persoalan pertama yang harus dipersiapkan oleh DPD yaitu amandemen kelima. Secara konstitusional itu adalah hak anggota DPD. Persoalanya sekarang adalah bagaimana hal tersebut diproses sesuai dengan UUD 1945” tanya Harjono.
Kerjasama Institusi
Dalam konferensi pers usai acara itu, Mahfud mengatakan bahwa MK dan DPD telah bersepakat untuk melakukan kerjasama institusi dalam tugas-tugas terkait. DPD adalah mata, telinga dan kekuatan daerah, tetapi MK kadang kalah mempunyai tugas yang bersangkutan dengan masyarakat. ”Oleh karena itu, informasi terkait dengan hal itu kami titipkan kepada DPD,” jelasnya.
Kemudian hal tersebut, menurut Mahfud, dinilai sangat bagus, karena kadang kalah masyarakat tidak mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim konstitusi dalam membuat putusan. ”Tetapi DPD menawarkan bantuan, terkait dengan keputusan MK akan disampaikan kepada masyarakat,” ungkap Guru Besar Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu. (Shohibul Umam)