Tidak Miliki âLegal Standingâ, Permohonan SKLN Kutai Timur Tidak Dapat Diterima
Rabu, 18 Januari 2012
| 11:09 WIB
Jakarta, MKOnline – Permohonan yang diajukan Bupati Kabupaten Kutai Timur, Isran Noor diputuskan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/1). Pemohon Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu dalam konklusi Mahkamah dianggap tidak memiliki legal standing.
”Konklusi. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan; Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, Pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan,” ujar Ketua MK, Moh. Mahfud MD membacakan langsung Konklusi Mahkamah untuk perkara yang teregistrasi dengan nomor 3/SKLN-IX/2011.
Pada rangkaian sidang perkara ini di tahun 2011 lalu, diketahui bahwa Pemohon mempermasalahkan tentang penetapan wilayah pertambangan seperti yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2) UU Minerba. Pemohon juga menganggap penetapan wilayah usaha pertambangan sebagaimana ditentukan pada Pasal 14 ayat (1) UU Minerba merugikan pihaknya. Dan terakhir Pemohon mempermasalahkan tentang pemberian wewenang oleh UU untuk menetapkan wilayah izin usaha pertambangan.seperti yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU Minerba.
Konkritnya, Pemohon menganggap pengelolaan Sumber Daya Alam di Kutai Timur seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemohon demi kesejahteraan rakyat, bukan oleh Kementerian ESDM.
Namun, Permohonan Pemohon itu menjadi ”mentah”. Pasalnya, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menganggap pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasar Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam menangani urusan mineral dan batubara sudah ditentukan secara jelas di dalam UU 4 Tahun 2009. Artinya, kewenangan untuk mengurus Minerba itu sudah diberikan kepada Pemerintah Pusat berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf b UU MK, Pasal 3 ayat (2) PMK 08/2006.
Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa meskipun para pihak adalah lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 sehingga memenuhi syarat sebagai subjectum litis (subjek sengketa), namun yang menjadi objectum litis (objek sengketa) dari permohonan a quo bukanlah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf b UU MK, Pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum.
Di akhir pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan meski Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum, Menteri yang diberi wewenang oleh Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 harus memperhatikan aspirasi daerah dan masyarakat daerah tersebut serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan.
Berdasar semua pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. “Amar Putusan. Mengadili. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi,” tutup Mahfud. (Yusti Nurul Agustin)