Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Amar putusan ini diucapkan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan orang hakim konstitusi pada Selasa (17/1), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan dengan perkara dengan Nomor 77/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh PT. West Irian Fishing Industries, PT. Dwi Bina Utama, PT. Irian Marine Product Development, Mikio Hommura, Presiden Direktur PT. Irian Product Development, PT. Alfa Kurnia, Pengurus Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI), serta Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN).
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, para Pemohon mendalilkan Pasal 4 ayat (1) UU PBB menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang diberlakukan untuk memungut PBB Bidang Usaha Perikanan. Menurut Mahkamah, apabila pasal tersebut tidak diberlakukan kepada perusahaan perikanan, maka hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. “Bahkan menimbulkan diskriminasi karena frasa ‘memperoleh manfaat atas bumi’ sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PBB tidak hanya dikenakan pada perusahaan perikanan saja, melainkan juga pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha lain yang memperoleh manfaat atas bumi,” jelas Hamdan.
Menurut Mahkamah, lanjut Hamdan, pembentukan UU PBB dan UU Perikanan merupakan amanat dari konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Oleh karena itu, jelas Hamdan, UUD 1945 telah membedakan antara pajak dan pungutan, yang keduanya merupakan sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan dalam rangka untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan pungutan (PNBP) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak. “Berdasarkan uraian tersebut, menurut Mahkamah terdapat perbedaan mendasar antara pajak dan pungutan. Masyarakat yang membayar pajak tidak mendapat jasa timbal balik secara langsung dari negara, sedangkan masyarakat yang membayar pungutan mendapat timbal balik yang langsung dari Negara,” ucapnya.
Mengenai dalil para Pemohon yang menyatakan para Pemohon mendapatkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum karena perusahaan lain yang juga memperoleh manfaat atas bumi, termasuk laut, tidak dikenakan PBB, Hamdan menjelaskan Mahkamah berpendapat bahwa seandainya pun benar dalil permohonan para Pemohon a quo (quod non), hal demikian tidak berkaitan dengan konstitusionalitas berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. “Namun dalil permohonan para Pemohon tersebut merupakan implementasi dari penerapan Undang-Undang. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat Pasal 4 ayat (1) UU PBB tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” urai Hamdan.
Oleh karena itu, dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. “Dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)