Masalah hukum di Indonesia yang utama bukanlah mengenai hukum secara material, namun lebih mengenai penegakan hukum. Hal ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD ketika menerima audiensi dari Direktur Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Representatif untuk Indonesia dan Timor Leste Jan Worschik di Gedung MK pada Senin (16/1).
“Masalah tersebut terjadi bukan berkaitan dengan masalah keilmuan yang dimiliki oleh para hakim, namun lebih kepada permasalahan moralitas para hakim di Indonesia. Hal tersebut bukan hanya terjadi di pengadilan saja, namun juga tugas-tugas di birokrasi pemerintahan yang menjadi masalah. Birokrasi di sini tidak bisa menyesuaikan diri dengan hukum yang ada. Padahal aturan hukum dalam birokrasi banyak,” jelas Mahfud yang didampingi oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Dalam audiensi tersebut, Jan mengemukakan bahwa KAS mempunyai program dalam rangka memberikan pelatihan mengenai demokrasi, hukum, dan HAM kepada para santri di seluruh pesantren di 33 provinsi se-Indonesia. Tak hanya itu, lanjut Jan, KAS juga melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam menyelenggarakan pelatihan tersebut untuk masyarakat umum. Akan tetapi, Jan mengakui pelatihan mengenai demokrasi, hukum, dan HAM agak sedikit sulit untuk dilakukan di Papua. “Masyarakat Papua lebih tertarik terhadap pembahasan mengenai HIV AIDS dibandingkan dengan mengenai demokrasi, hukum dan HAM,” terang Jan.
Menanggapi hal tersebut, Mahfud mengungkapkan MK juga memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat Papua melalui putusan MK. Mahfud menuturkan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki pernah menangani kasus pemilukada Papua. “Memang tingkat pemahaman masyarakat terhadap demokrasi Papua agak berbeda. Pemilihan umum yang seharusnya bersifat rahasia, justru menjadi tidak rahasia karena diserahkan kepada kepala suku. Itu yang namanya sistem noken dan kami di MK menghargai itu. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Papua mendapat pelatihan mengenai demokrasi, hukum, dan HAM,” terangnya.
Mahfud pun menyambut baik program yang telah dilakukan KAS. Menurut Mahfud, KAS perlu mengadakan pelatihan serupa untuk para pimpinan ponpes. “Jika memang KAS berminat, saya bisa mereferensikan kepada para pimpinan ponpes,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Jan juga mempertanyakan cara warga negara Indonesia yang merasa hak asasinya dilanggar untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahfud, MK tidak memiliki wewenang untuk menangani constitutional complaint. “Akan tetapi, kami di MK berupaya untuk mengkampanyekan agar MK mempunyai kewenangan constitutional complaint. Akan lebih baik jika MK menangani constitutional complaint dibandingkan menangani perkara pemilukada karena lebih penting dan konkret,” papar Mahfud. (Lulu Anjarsari)