Senin, (16/1) ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat banyak kunjungan. Salah satu rombongan yang mengunjungi MK, yaitu dari Universitas Dr Soetomo Surabaya. Bertempat di Ruang Konferensi Pers Lantai 4, Gedung MK, para mahasiswa mendapat paparan materi dari peneliti sekaligus staf Ketua MK, Abdul Ghoffar. Abdul Ghoffar memaparkan sistim ketatanegaraan Indonesia dan sekilas mengenai kewenangan MK.
Dalam kesempatan itu Ghoffar mengatakan bahwa sebelum reformasi Indonesia memiliki pemimpin yang otoriter. Bahkan, Soeharta bisa menjadi presiden sampai 32 tahun. Baik Soekarno maupun Soeharto mengalami ”penggulingan” kekuasaan. Hal itu menunjukkan rasa kecewa rakyat Indonesia terhadap keotoriteran kedua pemimpin bangsa saat itu.
Namun, menurut Ghoffar hal itu bukan sepenuhnya salah pemimpin Indonesia saat itu yang menjadi otoriter. Sisitim ketatanegaraan Indonesia sebelum reformasi memiliki celah yang memungkinkan pemimpin Indonesia menjadi otoriter. ”Itulah mengapa sistim ketatanegaraan kita yang saat itu memungkinkan pemimpin kita menjadi otoriter harus diubah,” ujar Ghoffar.
Ghoffar melanjutkan bahwa kalau dulu kedaulatan di tangan rakyat dan dimandatkan sepenuhnya kepada MPR, setelah reformasi mandat dari rakyat harus dilakukan berdasar UUD 1945.
MK lahir karena secara teori demokrasi memiliki cacat bawaan. Maksudnya, dalam demokrasi benar atau salah kalau menjadi mayoritas dapat menjadi benar. Maka untuk ”menyembuhkan” cacat bawaan itu, hadirlah MK.
Menanggapi pertanyaan salah satu mahasiswa, Ghoffar mengatakan MK juga perlu dikontrol. Salah satu yang mengontrol MK adalah rakyat. Namun, Ghoffar mengatakan bahwa sebenarnya tidak perlu takut dengan betapa besarnya kekuasaan lembaga peradilan, termasuk MK. Pasalnya, MK tidak memiliki uang atau pun senjata untuk menjadi otoriter. ”Bahkan, kalau setelah putusan MK ada yang tidak melaksanakan putusan itu, MK tidak bisa melakukan apa-apa. Itu karena MK tidak memiliki lembaga eksekutorial. Pemohon sendirilah yang harus memperjuangkan agar putusan MK itu dilaksanakan,” jelas Ghoffar.
Selanjutnya Ghoffar menyampaikan bahwa sebagai lembaga peradilan tata negara, MK memiliki fungsi mengadili norma. Fungsi itu diwujudkan dengan kewenangan-kewenangan MK, yaitu berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, berwenang memutus sengketa antar lembaga negara, berwenang memutus perkara pemilu termasuk pemilukada, berwenang memutus pembubaran partai politik, dan berwenang memberikan rekomendasi atas permintaan DPR untuk memecat presiden bila terbukti melanggar konstitusi. (Yusti Nurul Agustin/mh)