Sebanyak 157 mahasiswa dan lima dosen STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Garut, Jawa Barat mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu dari rangkaian kegiatan KKL mereka, Senin (16/1). Sesampainya di MK, para mahasiswa dan dosen STKIP disambut oleh peneliti sekaligus Staf Ketua MK, Abdul Ghoffar yang juga memberikan materi tentang MK.
Abdul Ghoffar memulai pemaparan materinya dengan menyatakan bahwa profesi sebagai guru atau pendidik merupakan profesi yang mulia. Berdasar pengalamannya sendiri, Ghoffar menyampaikan bahwa menjadi pendidik memiliki kepuasan batin yang tidak terkira. “Saya pernah menjadi pendidik ketika masih kuliah di IAIN Sunan Ampel, saya mengajar agama di SMEA, kalau sekarang SMK. Ada kepuasan batin yang tidak terkira saat itu dibanding uang yang diberikan kepada saya tiap bulan,” papar Ghoffar menceritakan pengalamannya sebagai intermezzo.
Tentang MK, Ghoffar menceritakan historical background tentang asal mulanya MK terbentuk. Secara teori, ide tentang MK sudah ada sejak Indonesia merdeka. Namun, MK mulai menemukan wujudnya setelah reformasi tahun 1998 terjadi.
Saat reformasi, masih ujar Ghoffar, ada perasaan kecewa di masyarakat. Pasalnya, setelah bertahun-tahun merdeka Indonesia masih saja memiliki pemimpin yang otoriter. Menurut Ghoffar, tidak sepenuhnya salah pemimpin Indonesia saat itu yang menjadi otoriter. Sisitim ketatanegaraan Indonesia sebelum reformasi juga memiliki celah yang memungkinkan pemimpin Indonesia menjadi otoriter.
Ghoffar kemudian menjelaskan peta kekuasaan saat itu. MPR saat itu mendapat mandat dari rakyat. Dan kemudian presiden menerima 100 persen kedaulatan dari MPR. Ketika MPR sudah dikuasai presiden, maka otomatis presiden menjadi otoriter. ”Tidak ada sistim kontrol saat itu,” tutur Ghoffar.
Setelah reformasi, tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara seperti layaknya MPR dulu dan tidak ada pula lembaga tertinggi negara. Setelah reformasi, lembaga-lembaga memiliki fungsinya masing-masing, termasuk MK.
Sebagai lembaga peradilan tata negara, MK memiliki fungsi mengadili norma. Fungsi itu diwujudkan dengan kewenangan-kewenangan MK, yaitu berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, berwenang memutus sengketa antar lembaga negara, berwenang memutus perkara pemilu, termasuk pemilukada, berwenang memutus pembubaran partai politik, dan berwenang memberikan rekomendasi atas permintaan DPR untuk memecat presiden bila terbukti melanggar konstitusi.
Pada kesempata itu Ghoffar juga menyampaikan mengenai independensi hakim konstitusi dan para pegawai MK. Ghoffar menuturkan sesuai pengalamannya bahwa ketika menyidangkan suatu perkara, para pegawai disumpah terlebih dulu. ”Bahkan handphone kami saat mengurus sidang Pemilu 2009 itu diganti dengan handphone MK yang bisa disadap. Kami juga dikarantina di kantor. Itu merupakan salah satu upaya MK untuk menjada independensinya,” ungkap Ghoffar. (Yusti Nurul Agustin/mh)