Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, untuk sekian kalinya mengunjungi lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta. Kali ini, mereka yang datang berjumlah sekitar 80 (delapan puluh) mahasiswa yang diterima secara langsung oleh peneliti yang sekaligus staf Ketua MK Moh. Mahfud MD, Fajar Laksono, di Ruang Konpers, Gedung MK, Senin (16/1).
Selanjutnya, maksud dan tujuan mereka untuk mengetahui peran dan fungsi dari MK. Fajar dalam awal paparannya mengatakan, bahwa MK merupakan sebuah lembaga peradilan dari produk reformasi. Pemerintah Orde Baru dinilai kalangan akademisi banyak terjadi pelanggaran. ”Oleh karena itu, kalangan akademisi mengatakan, ini (orde baru) harus direformasi,” tutur Fajar saat menjelaskan kepada para mahasiswa.
Kemudian terkait dengan UUD 1945 yang telah diamandemen oleh para perumus, Fajar mengatakan, setelah adanya amandemen UUD 1945 yang mengatur terkait dengan MK. menurutnya, dasar konsep dari MK didirikan adalah dari teori Hans Kelsen selaku ahli di bidang hukum tata negara. Sedangkan model atau bentuknya dari MK Indonesia ialah mengacu pada MK pertama kali ada yaitu MK Austria.
Itu semua, lanjut Fajar, disebakan di dalam perumusan UUD yang sudah diamandemen, para perumus melihat banyak terjadi ketidak-singkronan dalam UU terhadap UUD. ”Oleh karena itu, ini harus ada sebuah penyelesaian norma, antara UUD dan UU yang ada di bawahnya,” jelas Fajar yang juga alumni UII itu.
Perubahan yang lain pada UUD 1945, tutur Fajar, ada pada relasi kelembagaannya. Dahulu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berada pada puncak kekuasaan. Dia menjadi lembaga tertinggi negara. Dia juga menjadi pelaksana kedaulatan rakyat. “Namun sekarang kedaulatan tersebut dibagi-bagi. Yang dahulu sebelum reformasi bersifat vertikal hierarkis, tetapi sekarang horisontal-fungsional. Dan yang membedakan hanya fungsinya,” urai fajar.
Di samping berbicara proses sejarah MK, fajar juga menceritakan konflik-konflik yang terjadi sebelum munculnya MK. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa ada sejarah kelam terkait dengan proses jatuhnya Presiden ke-3 Abdurrahman Wahid. Presiden yang biasa disapa Gus Dur itu, dalam proses pelengserannya dinilai merupakan sebuah anomali. ”Kenapa Presiden bisa dijatuhkan tanpa adalah proses hukum yang dilakukan?” tanya Fajar. Lebih jauh lagi, jatuhnya Gus dur, kata Fajar, memberi pelajaran yang sangat besar terhadap sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. ”Inilah pentingnya ada sebuah lembaga seperti MK.”
Sementara itu, Fajar juga menjelaskan terkait dengan Undang-Undang terhadap UUD 1945. menurutnya, pembuatan UU merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislatif. Namun terkadang UU yang dibuat tidak sesuai dengan keadillan. “Oleh karena itu, betapa sengsaranya masyarakat kalau tidak ada lembaga seperti MK,” jelasnya.
Sayangnya, lanjut Fajar, seharusnya apabila ada lembaga seperti MK, lembaga pembuatan UU seharusnya lebih berhati-hati dalam membuat UU. Karena kenyataannya, semakin lama, dan sampai sekarang intensitas yang diujikan ke MK, malah semakin banyak. “Ini kan sebuah persoalan,” tegasnya.
Labih penting lagi, menurutnya, ”MK hadir atau didirikan sebagai lembaga menyinkronkan hukum dan demokrasi. Demokrasi cenderung ’liar,’ kalau tidak dibatasi dengan hukum. MK hanya menyeleraskan UU yang tidak sinkron,” urai Fajar.
Terkait dengan adanya putusan MK, apakah putusannya pernah mengalami kendala? Dalam jawabanya, Fajar mengatakan bahwa setiap putusan MK yang dikeluarkan, MK tidak mempunyai hak untuk mengeksekusi. “Sebagai pelaksana UU, terserah eksekutif dilaksanakan atau tidak,” ucap Fajar. (Shohibul Umam/mh)