Pemohon uji materi UU Penyiaran harus bisa membuktikan adanya kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan. “DPR menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak.” Demikian keterangan DPR yang disampaikan oleh Martin Hutabarat di hadapan Pleno Hakim Mahkamah Konstitusi, Selasa (10/1/2012).
Sidang perkara 78/PUU-IX/2011 mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait. Lebih lanjut, Martin menerangkan, informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, dan menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membawa implikasi terhadap dunia penyiaran. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum mempunyai peran sangat strategis. “Pengaturan mengenai penyiaran harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” terang Martin.
DPR berpendapat, dalil-dalil Pemohon tidak tepat. Pasal-pasal yang diujikan Pemohon tidak bertentangan dengan dengan UUD 1945. Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Kemenkominfo menilai kerugian yang didalilkan para Pemohon lebih karena ketidakpuasan para Pemohon terhadap isi siaran televisi. Hal ini kata Pemerintah, telah difasilitasi dalam pasal 52 UU Penyiaran yang mengatur bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan penyiaran nasional dalam bentuk pengajuan keberatan terhadap program siaran, konten, yang dapat diajukan oleh KPI. Selain itu, menurut Pemerintah, dalil-dalil kerugian para Pemohon disajikan tanpa dukungan data yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. “Sehingga dalil kerugian para Pemohon tersebut bisa saja terlahir akibat subjektivitas diri para Pemohon sendiri,” kata Sukri Batubara dari Kemenkominfo.
Mengenai penyelenggaraan jasa penyiaran, kata Sukri, UU Penyiaran mengatur bahwasannya penyelenggaraan jasa penyiaran dilaksanakan oleh pelaku penyiaran yang dibatasi jangkauan wilayah siarannya. Untuk penyiaran nasional dilaksanakan oleh TVRI dan RRI, sedangkan penyiaran lokal dan regional dilaksanakan oleh lembaga penyiaran swasta berlangganan dan komunitas. Sedangkan mengenai isi siaran, lanjutnya, UU Penyiaran telah mengamanatkan dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Keberadaan KPI merupakan wujud peran serta masyarakat yang berwenang mengawasi konten siaran.
Terkait dalil Pemohon mengenai penafsiran frasa “pihak lain” dalam Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, menurut Pemerintah, tidak lagi dibutuhkan penafsiran terhadap frasa tersebut. “Karena pengertian frasa ‘pihak lain’ sudah tentu mencakup pihak manapun juga, termasuk perseorangan atau badan hukum,” kata Sukri membantah dalil Pemohon.
Yusril Ihza Mahendra yang mewakili Pihak Terkait, MNC Group, juga mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon berdasarkan UU 24/2003 tentang MK. “Terdapat ketidakjelasan pihak yang menjadi Pemohon dalam perkara ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” kata Yusril.
Untuk diketahui, uji konstitusionalitas materi UU Penyiaran ini diajukan oleh Wahyu Dhyatmika dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Hendrayana dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ahmad Faisol dari Media Link, Masduki dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dan Christiana Chelsia Chan dari Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28).
Pasal 18 Ayat (1) UU Penyiaran menyatakan, “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”.
Kemudian Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran menyatakan, “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”. Kedua materi pasal dalam UU Penyiaran tersebut menurut para Pemohon adalah bertentangan dengan dengan Pasal 28D, 28F, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, satu badan hukum baik di tingkat induk atau anak perusahaan, atau perseorangan tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggaran penyiaran jasa, penyiaraan televisi yang berlokasi di suatu provinsi. Para Pemohon mendalilkan, seseorang atau satu badan hukum dengan mudah membeli lembaga penyiaran sekaligus izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal berdasarkan UU Penyiaran, izin penyelenggaraan penyiaran seharusnya dikembalikan kepada negara saat suatu badan hukum tidak mampu menyelenggarakan penyiaran lagi, atau habis jangka waktu perizinannya. Negara secara otomatis mencabut izin tersebut. Pengembalian frekuensi kepada negara bertujuan untuk mencegah adanya monopoli dalam dunia penyiaran. (Nur Rosihin Ana/mh)