Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) harus bersih dari unsur partai politik. Kalaupun ada mantan anggota parpol, harus sudah mundur sekurang-kurangnya lima tahun terakhir. Demikian setidaknya inti putusan MK No. 81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang digelar di gedung MK, Rabu (4/1/2012) sore.
“Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud jika, antara lain, penyelenggara Pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain manapun. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, sehingga pemilu harus diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945,” urai MK dalam putusannya.
“Anggota Parpol tidak boleh menjadi penyelenggara Pemilu kecuali sudah berhenti lima tahun,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat ditemui disela-sela kesibukannya di Gedung MK, Kamis (5/1) siang.
Pada pokoknya, menurut dia, terdapat dua alasan mendasar. Pertama, melalui putusan tersebut MK ingin menjaga kemandirian penyelenggara Pemilu, baik pada Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945. “Kedua, agar politik hukum kita konsisten,” tegasnya.
Mahfud menambahkan, terdapat perbedaan antara lembaga yang mandiri dengan lembaga yang merdeka. “KPU itu adalah lembaga yang mandiri, bukan merdeka. Ada perbedaan antara kemandirian dengan merdeka menurut Undang-Undang Dasar 1945,” katanya.
“Kalau KPU adalah lembaga yang mandiri, sedangkan kekuasaan kehakiman seperti MK atau MA itu lembaga yang merdeka,” sambung Mahfud. Itulah sebabnya kenapa pola rekrutmen (terutama terkait persyaratan) pada dua lembaga tersebut berbeda.
Sedangkan untuk alasan kedua, dengan tujuan mempertahankan konsistensi politik hukum, khususnya terkait pelaksanaan Pemilu, dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Menurut Mahfud, kita punya pengalaman buruk dalam penyelenggaraan Pemilu ketika ditangani oleh Pemerintah ataupun parpol.
Pada masa orde baru, pelaksanaan Pemilu ada ditangan Pemerintah. Hasilnya, Lembaga Penyelenggara Pemilu (disingkat LPU, saat itu) lebih condong kepada penguasa. “LPU dulu di bawah Pemerintah sudah jelas memihak pada kekuatan politik tertentu di zaman orde baru,” beber Mahfud.
Sedangkan diawal reformasi, ditangani oleh parpol. Hasilnya, tak lebih baik. Buktinya, hasil Pemilu tersebut gagal disahkan karena KPU pada waktu itu tidak mau mengesahkannya. Sehingga akhirnya, diambil alih oleh Presiden dengan mengeluarkan Kepres No. 77 Tahun 1999. “Itukan tidak baik,” komentarnya.
Menanggapi serangkaian fakta tersebut, dia pun berkesimpulan, “Pemerintah dan parpol sama-sama jelek (dalam menangani Pemilu).”
Akhirnya, lanjut Mahfud, timbullah pemikiran agar KPU itu betul-betul mandiri. Sehingga dibentuklah KPU untuk Pemilu 2004 dan 2009 dengan, salah satunya, mengutamakan prinsip kemandirian. “Jika unsur Parpol masuk lagi, itu berarti mundur lagi politik hukum kita,” imbuhnya. “Karena endak konsisten”. Oleh karena itu, menurutnya, dengan adanya putusan MK ini diharapkan Pemilu ke depannya dapat berjalan dengan lebih baik. (Dodi)