Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dalam perkara uji konstitusionalitas Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.
“Permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, saat membacakan salah satu konklusi Putusan No. 60/PUU-IX/2011, Rabu (28/12) pagi, di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon dalam perkara ini terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap isu-isu anggaran dan kesejahteraan rakyat. Mereka adalah Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Prakarsa Masyarakat Untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif (PRAKARSA), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), serta Trade Union Rights Centre (TURC). Serta dua orang Pemohon lainnya, Ridaya La Ode Ngkowe dan Dani Setiawan.
Dalam pertimbangan hukumnya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait Anggaran Kesehatan yang menyatakan bahwa pengalokasian total belanja kesehatan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah tidak terbukti menurut hukum.
“Walaupun terdapat perbedaan antara UU 36/2009 mengenai prosentase anggaran kesehatan minimal sebesar 5% dari APBN di luar gaji dengan UU APBN 2011 yang untuk anggaran kesehatan tidak mencapai 5% dari APBN 2011, namun menurut Mahkamah hal demikian tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tulis Mahkamah dalam pertimbangannya. Alokasi total belanja kesehatan di luar komponen gaji dalam APBN TA 2011 hanya sekitar 1,94 % dari APBN 2011.
Sedangkan mengenai perbedaan antara UU APBN 2011 dan UU 36/2009, Mahkamah berpendapat, hal tersebut memang dapat diartikan bahwa Presiden dan DPR tidak memenuhi kewajiban mereka berdasarkan UU yang mereka bentuk sendiri, akan tetapi hal demikian tidaklah serta-merta bertentangan dengan UUD 1945. “Sehingga persoalannya bukan masalah konstitusionalitas UU.”
Adapun terkait anggaran pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, studi banding, dan pembelian pesawat kepresidenan dalam pengalokasian APBN TA 2011 yang juga dianggap bertentangan dengan konstitusi, Mahkamah berkesimpulan, pengalokasian tersebut justru merupakan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Penetapan suatu anggaran di dalam UU APBN, lanjut Mahkamah, merupakan proses yang tidak sekali jadi, melainkan meliputi tahap-tahap panjang yang terbuka, yang dalam tahap-tahap tersebut Presiden maupun DPR, masing-masing sebagai subjek hukum yang mempunyai kewenangan untuk itu dapat mempertimbangkan secara mendalam.
“Apabila dalam rancangan UU APBN dan telah menjadi UU APBN ada pihak-pihak yang dirugikan karena terjadi pelanggaran konstitusional maka pihak-pihak tersebut dapat mengajukan pengujian konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi,” ujar Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah berpendapat pula bahwa permohonan itu bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan legal policy pembentuk undang-undang yang bersifat terbuka (opened legal policy). Karena menyangkut penentuan prioritas dan besaran anggaran tersebut yang dikaitkan dengan besaran anggaran lainnya. Dengan demikian, permohonan para Pemohon mengenai pengujian anggaran pembangunan gedung DPR, studi banding, pembelian pesawat kepresidenan dan dalil-dalil lainnya dalam UU APBN 2011 tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini terdapat Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) oleh salah satu Hakim Konstitusi, yakni Achmad Sodiki. Menurut dia, seharusnya permohonan para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah sejauh mengenai anggaran belanja untuk kesehatan. Karena, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan mengutip teori dari beberapa pemikir, seperti: Jeremy Bentham dan Lon Fuller, Sodiki menyimpulkan empat hal: pertama, UU yang diuji tersebut telah mengacaukan dan mengganggu terpenuhinya ekspektasi masyarakat yang dapat merugikan kepatuhan masyarakat terhadap hukum, memperbesar diskohesi masyarakat, tidak menjamin rasa aman masyarakat. Kedua, menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak menjamin prediktabilitas, dan kalkulabilitas hukum.
Ketiga, menimbulkan ketidakkonsistenan dan kekonstanan hukum (legal inconsistency and inconstancy). Dan keempat, Moralitas keterikatan dan kepatuhan legislator terhadap apa yang telah diputuskannya sendiri tidak mencerminkan moralitas kejujuran.
Faktanya, menurut dia, dalam bulan Desember 2011 terjadi peristiwa di mana seorang pasien dari kalangan rakyat miskin ditolak berobat gratis di Rumah Sakit Dokter Soetomo, karena Pemda Surabaya belum melunasi hutangnya, padahal dana untuk rakyat miskin sudah habis. Berita lainnya menyebutkan, bayi di Papua Barat, 16 % belum mendapat imunisasi lengkap padahal toleransinya kurang dari 5%.
“Masih banyak lagi peristiwa yang memilukan dari mereka yang kurang mampu (miskin). Hal ini mengingatkan kita bahwa dalam hal memenuhi kebutuhan pokok saja ternyata negara belum bisa memenuhi sepenuhnya. Sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan merupakan kebutuhan pokok. Padahal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” paparnya. (Dodi/mh)