Banyak dari aturan hukum yang masih berpihak kepada para koruptor. Salah satunya adalah aturan yang menyatakan bahwa harus adanya izin atau persetujuan dari Presiden saat akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Ijin Presiden ini sangat mengganggu agenda pemberantasan korupsi.
Demikian hal itu dinyatakan oleh Saldi Isra, ahli yang dihadirkan Pemohon dalam perkara 73/PUU-IX/2011, Kamis (22/12) di ruang sidang Pleno MK.
Dalam hal ini, para Pemohon, yang terdiri dari: Feri Amsari, Teten Masduki, Zainal Arifin Mochtar Husein, dan Indonesia Corruption Watch (Danang Widoyoko), menguji Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Secara norma, menurut Saldi, ketentuan dalam pasal yang diuji tersebut memiliki izin yang berlapis. Akibatnya, proses penegakan hukum yang seharusnya dilaksanakan dengan cepat dan sederhana sulit terwujud. “Menciptakan birokrasi baru dalam penegakan hukum,” tuturnya.
Pendapat tersebut diperkuat dengan hasil kajian Kejaksaan RI yang menyatakan bahwa aturan tersebut merupakan hambatan dalam penegakan hukum. Beberapa simpulan dari kajian itu: Pertama, izin itu tidak sejalan dengan prinsip bahwa semua orang memiliki persamaan di muka hukum. Kedua, mengganggu asas peradilan yang cepat. Ketiga, berpotensi mengganggu kekuasaan kehakiman. “Keempat, menimbulkan diskriminasi bagi aparat penegak hukum,” papar Saldi.
Dalam praktiknya, kata Saldi, masih mengutip hasil kajian tersebut, terkadang izin yang dimintakan tidak pernah ada jawabannya. “Sehingga, penanganan perkara menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya.”
Lebih parah lagi, ketentuan itu sangat berpotensi disalahgunakan. Salah satunya disebabkan tidak adanya mekanisme kontrol terhadap proses perizinannya. “Ini merupakan lorong gelap dalam penegakan hukum,” tegasnya. “Ada berbagai kepentingan di dalamnya.”
Menurut Saldi, pandangan yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertujuan untuk menjaga martabat kepala daerah dan sebuah ‘proteksi’ agar tidak mengganggu ritme kerja pemerintah daerah, adalah kurang tepat. Karena sebenarnya, sistem pemerintahan (daerah) kita sudah memiliki antisipasi terhadap hal itu, yakni dengan adanya jabatan wakil kepala daerah. Dan, kalaupun kedua kepala daerah diduga bermasalah, masih tetap ada antisipasi lain, yakni adanya sekretaris daerah (Sekda) dan pelaksana tugas (Plt).
Sementara itu, sebagai saksi, dihadirkan pula oleh Pemohon mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M. Hamzah. Ia pun membenarkan hal itu. Ia berpendapat, berdasarkan pengalamannya selama di KPK, tanpa adanya izin jelas mempermudah proses hukum yang sedang berlangsung. (Dodi/mh)