Pengelolaan minyak dan gas (migas) yang berkeadilan dan memihak kepentingan nasional belum berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil. Perundang-undangan sektor migas belum sinkron dengan perundang-undangan otonomi daerah. Oleh karena itu, DPD sedang melakukan kajian untuk perubahan Undang-Undang Perimbangan Keuangan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Komite IV DPD RI Cholid Mahmud, saat membacakan keterangan dalam sidang pengujian UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya Pasal 14 huruf e dan f, dalam perkara nomor 71/PUU-IX/2011, di Mahkamah Konstitusi, Kamis (22/12).
Sementara itu, Cholid mengatakan bahwa eksplorasi dan eksplotasi sumber daya alam sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi menimbulkan dampak kerusakan alam dan ekosistem. Kerusakan lingkungan tersebut seharusnya dapat direhabilitasi dari perolehan bagi hasil. ”Akan tetapi, kenyataanya besaran bagi hasil yang diterima oleh daerah sangat tidak mencukupi untuk perbaikan atas kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan tersebut,” ucap Cholid.
Lebih lanjut Cholid juga mengatakan bahwa kemiskinan yang terdapat di daerah penghasil membuat keberadaan eksploitasi pertambangan tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. ”Masalah ini telah menimbulkan masalah sosial yang semakin parah,” ucap Cholid. ”Sumber daya alam yang memberi harapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menjadi sumber bencana bagi mereka.”
Dalam akhir penyampainnya, Cholid menyampaikan bahwa DPD RI telah melakukan kajian akademik untuk perubahan UU Perimbangan Keuangan. Selain itu DPD RI juga telah membentuk Pansus Dana Bagi Hasil dalam rangka perubahan UU perimbangan keuangan tersebut. ”Prinsip yang dikembangkan adalah konsistensi dan peningkatan dana tranfer ke daerah untuk mempercepat pembangunan daerah, serta pembangunan nasional secara berkelanjutan,” ucap DPD itu.
Sidang itu juga mendengarkan ahli dari para Pemohon yaitu Aji Sofyan E. Dalam keahliannya, ia mengatakan bahwa dalam kondisi yang ada, Indonesia seakan-akan dihadapkan pada dua institusi, yaitu pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat. ”Dan hal tersebut, saya menilai ada aktor yang luput dari pengamatan kita yaitu kontraktor kerjasama,” tutur Aji.
Sedangkan, ahli para Pemohon lain mengatakan bahwa sudah semestinya rakyat Kaltim menerima lebih besar bagi hasil migas eksploitasi sumber daya alamnya untuk membangun, dan mengentaskan kemiskinan, serta persiapan menujuh ekonomi berbasis non-migas dan restorasi dan rehabilitasi yang telah rusak.”Sudah semestinya rakyat memikul beban biaya hidup akibat korporasi industri Sumber Daya Alam (SDA). Kompensasi SDA setidaknya sebesar pengeluaran yang terjadi yaitu minimal 2.30 triliun per tahun,” imbuh ahli yang diajukan Pemohon itu.
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon yang terdiri atas Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu, Sundy Ingan, Andu, Luther Kombong, H. Awang Ferdian Hidayat, Muslihuddin Abdurrasyid, dan H. Bambang Susilo, memohonkan Pasal 14 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, sepanjang frasa 84,5% untuk pemerintah dan 15,5% untuk daerah, dan frasa 69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), ayat (3), dan (4), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. (Shohibul Umam/mh)