Ketua MK Mahfud MD menjadi pembicara pada ‘Halaqah Kebangsaan’ di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, Rabu (21/12) siang. Dalam kesempatan ini Mahfud mengingatkan bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami masalah yang tidak pernah habis-habisnya. “Masalah bangsa kita sekarang agak serius, karena kita menghadapi beberapa tantangan,” ujarnya.
Mantan Menteri Pertahanan RI masa Presiden Gus Dur ini menghimbau agar menengok ke belakang tentang peran pondok pesantren dan para kyai maupun santri. Dikatakannya, kalau dulu para kyai dan santri tidak mau mendirikan negara Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat dan bermartabat, maka Indonesia tidak akan bertahan sampai sekarang.
“Pada waktu itu para ulama mempelopori Kemerdekaan Indonesia, bukan hanya dalam gagasan, tapi juga turun ke ‘lapangan’ untuk keluar dari kejahiliyahan. Karena pada saat itu Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang, tidak ada martabat tanpa hak asasi yang dihargai sama sekali, kebodohan merajalela,” ungkap Mahfud.
Dengan demikian, lanjut Mahfud, ulama ikut membangun kemerdekaan Indonesia sehingga terjadilah negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan dengan sebuah konstitusi.
“Konstitusi adalah perjanjian luhur bangsa kita, sebagai sebuah ikatan bangsa Indonesia bahwa kita akan sehidup semati membangun bangsa yang beradab, santun, maju, jujur, adil, demokratis yang semua tertulis dalam konstitusi,” urai Mahfud.
Mahfud melanjutkan, dahulu bangsa kita mendirikan negara Indonesia karena ingin keluar dari ‘alam jahiliyah’. Namun setelah Indonesia merdeka selama bertahun-tahun, bangsa Indonesia memiliki konstitusi yang seharusnya mengarahkan hidup kita agar tidak jadi bangsa jahiliyah.
“Kenyataannya, bangsa kita sekarang sedang menghadapi masalah jahiliyah dalam hidup berbangsa dan bernegara,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, jahiliyah adalah sikap melanggar hukum maupun aturan-aturan. Rasulullah SAW dikisahkan pernah didatangi pimpinan orang Yahudi yang bersengketa dengan pengikutnya sendiri. Orang Yahudi itu meminta Rasulullah agar memenangkan perselisihan tersebut. Kalau berhasil, Rasulullah mendapat imbalan boleh mengambil semua pengikut orang Yahudi itu dan diperkenankan masuk Islam.
Namun Allah SWT segera mengingatkan Rasulullah, bila memenuhi permintaan orang Yahudi itu sama saja dengan perbuatan jahiliyah, yaitu membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar hanya karena disuap. “Dalam konstitusi selalu dikatakan, hukum harus ditegakkan dengan jujur dan adil,” ucap Mahfud.
Mahfud menambahkan, jahiliyah juga diartikan sebagai orang yang mau menang sendiri, kalau berdebat tidak mau kalah, menganggap orang lain salah dan tidak punya kearifan dalam menyikapi satu persoalan. “Orang tidak boleh mau menang sendiri, tetapi mesti melalui kearifan bermusyawarah, itu bunyi konstitusi yang mengambil dari Kitab Al-Qur’an tentang musyawarah,” imbuh Mahfud.
Pengertian jahiliyah, sambung Mahfud, bertalian dengan peringatan kepada istri Rasulullah agar tidak keluar rumah sendirian, banyak di rumah, dan jangan bersolek secara berlebihan seperti bersoleknya perempuan-perempuan kaum jahiliyah yang genit. Pada masa sekarang, wanita penjaja seks bisa jadi alat suap dalam kasus-kasus tertentu, jadi bukan hanya uang. Oleh sebab itu, kata Mahfud, sekarang ada gratifikasi model baru yaitu gratifikasi seks.
“Di atas itu semua, kata ‘jahiliyah’ memiliki pengertian lunturnya keimanan,” tandas Mahfud dalam acara yang dihadiri Ketua Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, KH. Nur Muhammad Iskandar maupun para santri dari seluruh Indonesia. (Nano Tresna A./mh)