Sejumlah oknum pejabat yang ada di negara Indonesia sudah banyak belajar tentang moral dan etika. Akan tetapi, mungkin karena terlalu banyak belajar tentang hal tersebut, sehingga mereka hanya mengakali orang lain. Oleh karena itu, mereka benar-benar tidak bermoral dan beretika bobrok dalam menangani masalah-masalah di negeri ini. Mereka hanya selalu menggunakan dalil-dalil untuk menutupi kebobrokannya.
Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat menjadi pembicara utama dengan membawakan tema, ”Perspektif Etika Kenegaraan Dalam Membangun Ekonomi Indonesia,” di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), Depok, Jawa Barat, Selasa (20/12).
Acara yang diselenggarakan oleh Departemen Kewirausahaan Badan Eksekutif Mahasiswa FE-UI itu bertemakan, ”Sebuah Makna Pengembalian dan Persemabahan Untuk Negeriku.” Hadir dalam acara tersebut, sejumlah pimpinan UI, serta dihadiri oleh ratusan mahasiswa dari berbagi jurusan di UI.
Lebih lanjut Mahfud mengakui bahwa banyak masalah-masalah yang terjadi di negeri ini tetapi semua masalah tersebut dibelokkan, sehingga semua masalah tersebut tidak kunjung selesai. ”Memang ada ketidaksesuaian, karena banyak masalah yang sudah jelas tapi dibelokan,” ucapnya.
Dengan melihat kasus seperti itu, Mahfud menyarankan, supaya kasus itu dikembalikan saja dengan hukum alam. Mengapa demikian, menurutnya, sekarang banyak masalah terhadap sejumlah orang namun, masalah tersebut tidak ditangani dengan baik. ”Padahal, masalah sistem sudah selesai, karena sudah dibuat sekitar 300 Undang-Undang untuk memperbaiki sistem,” urainya.
Oleh sebab itu, menurut Mahfud, lembaga-lembaga yang ada di negara ini, harus berhenti bicara, khususnya berbicara tentang sistem-sistem yang adanya pada teori. Karena, menurutnya, semua teori tentang sistem sudah habis dijadikan Undang-Undang.
Hal tersebut, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Mahfud. Ia mengakui dirinya berada di dalam sub sistem atau berada pada sebuah lembaga negara, tetapi dia memastikan apa yang dipegangnya tidak bermasalah. ”Dan berbeda dengan saya, saya sendiri berada dalam sub sistem, dan ingin memastikan yang saya pegang tidak bermasalah,” ucap Guru Besar Universitas Islam Indonesia itu.
Lebih penting lagi, Mahfud menjelaskan bahwa berbagai macam faktor atau cara banyak orang bisa membelokan sebuah kasus, di antaranya faktor politik. ”Dalam hal ini, kepentingan suap-menyuap yang ada di negeri ini tidak hanya berupa money politic tetapi juga dengan jalan penipuan,” jelasnya.
Oleh sebab itu, sekarang, kata Mahfud, menegakkan hukum di negara ini sangatlah sulit, disebabkan aparat-aparat hukum itu pernah juga melakukan hal yang sama. Yang dimanfaatkan oleh penjahat adalah masa lalunya akan dibongkar apabila kasusnya dibuka.
Selain itu, Mahfud mencontohkan, kasus yang dialami Mantan Menlu dan sekarang dipercaya sebagai utusan khusus Presiden untuk kawasan Timur Tengah Alwi Shihab. Dalam kasusnya, Alwi mendapatkan seorang investor dari daerah temur tengah, tetapi karena terganjal birokrasi yang berbelit, maka investor tersebut tidak jadi memberikan sahamnya di Indonesia.
Kemudian, dalam menanggapi pertanyaan dari mahasiswa supaya ada tindakan terkait dengan kondisi masyarakat yang mengalami ketidakadilan ini, Mahfud mengatakan bahwa hukum ada 2 (dua) aspek, yaitu formal dan subtansi. Dalam hal ini, aspek subtansional menghendaki persoalan diselesaikan secara tepat. Masalah-masalah yang lama, bila tidak disamakan itu tidak jadi masalah. Namun yang menjadi bermasalah jika permasaialan tersebut berbeda. ”Oleh karena itu, untuk memperbaiki kembali ke etika moral,” jawab Mahfud. (Shohibul Umam/mh)